Page 118 - e-modul bh.Indonesia SMPMuh.Rappang9
P. 118

MODUL 2

                   “Mengapa hasil batiknya seperti ini? Kualitas kainnya jelek! Warnanya juga tidak
               sesuai  dengan  pesanan!  Padahal  saya  sangat  percaya  dengan  batik  buatan  Ibu.  Ini
               tidak seperti biasanya.”
                   “Saya minta maaf, Pak. Mungkin batik Bapak tertukar dengan pelanggan yang lain.
               Saya  akan  mengganti  semua  kain  Bapak.  Sekali  lagi,  saya  mohon  maaf,”  ucap  ibu
               bergetar.
                   “Sudah,  mulai  detik  ini  saya  tidak  akan  memesan  batik  di  tempat  Ibu  lagi.  Saya

               benar-benar kecewa. Kembalikan uang saya!” ucap lelaki itu dengan nada geram.
               Tubuhku bergetar serasa tersambar halilintar mendengar makian lelaki berstelan jas.
               Badanku  lemas.  Lututku  goyah  seakan  tak  mampu  menopangtubuhku.  Kutatap
               punggung ringkih ibu yang berjalan tertunduk selepas kepergian lelaki itu. Aku keluar
               dari tempat persembunyianku dengan langkah gontai.

                    Tak kutoleh sedikitpun sosok ibu yang tengah membatik di ruang depan. Kulewati
               ibu tanpa berani menatapnya. Aku berjalan lesu menuju kamar untuk meredam segala
               kecamuk di dada.
                    “Nduk,  Ibu ingin bicara sebentar.” Ucapan ibu menghentikan langkahku. Aku hanya
               terdiam tanpa berani sedikitpun melihat ibu.
                   “Kemarin kamu kan yang mengerjakan batik pesanan Pak Hadiwijaya?”
                   Kujawab pertanyaan ibu dengan anggukan pelan.
                   “Kamu yakin batik yang dikirim kemarin itu buatanmu? Batik itu tidak tertukar tho,
               Nduk?”

                   Aku hanya terdiam. Tak kujawab pertanyaan ibu.

                   “Kok  ndak  dijawab  pertanyaan  Ibu?  Bener  tho  itu  batik  buatanmu?”  tanya  ibu
               padaku. Aku tak bergeming. Hening. Hanya kebisuan yang menyapa.

                   “Batik pesanan Pak Hadiwijaya jauh berbeda dengan batik  yang ia terima. Lihat,
               Nduk, batik ini, tidak ada motif meraknya sama sekali,” jelas ibu dengan sabar.
                   Aku tetap mematung. Lidahku kelu.
                   “Nduk, batik Semarang itu perpaduan dari budaya Cina dan Londo. Merak adalah
               simbol Cina yang artinya keagungan. Warna batik yang diterima Pak Hadiwijaya juga
               berbeda dengan yang beliau pesan semula. Benar tho, Nduk,       itu buatanmu?”
                   Aku tetap membungkam. Kupalingkan wajahku menyembunyikan segala kecamuk
               di otak.
                   “Ingat,  Nduk,  pesan  bapakmu.  Kita  harus  senantiasa  meneladani  Kanjeng  Nabi.
               Beliau  itu  manusia  agung  pilihan  Allah.  Beliau  itu  orang  yang  jujur,  maka  hidupnya
               mujur….”

                   “Kapan  kita  ndak  bakal  kekurangan  lagi,  Bu?  Tiga  bulan  hanya  cukup  untuk
               membuat satu helai kain batik! Nyanting hanya buang-buang waktu! Kita ikuti saja apa
               yang  dilakukan  tetangga-tetangga.  Ndak  usah  capek-capek  mbatik,”  balasku
               menaikkan nada memotong ucapan ibu.



                                                           108
   113   114   115   116   117   118   119   120   121   122   123