Page 46 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 46
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU
1575, berdasarkan Kronik Kutai disebutkan bahwa Datuk Abdul Makmur, seorang
mubalig asal Minangkabau, diundang untuk memperkenalkan ajaran Islam
namun usaha tersebut menemui kegagalan. Hal itu disebabkan oleh masyarakat
pada saat itu masih gemar menjalankan kebiasaan lama mereka yaitu makan
dendeng babi, hati rusa mentah yang dicincang dan disajikan dengan bumbu dan
darah (lawa’ dara), serta menikmati minuman tuak. Keadaan itu membuat Datuk
Abdul Makmur hijrah ke daerah Kutai dan berhasil menyebarkan Islam di sana.
Datuk Abdul Makmur adalah mubalig yang berjasa dalam pengislaman di
Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Ia kemudian datang lagi ke Makassar bersama
dua mubalig lainnya yaitu Datuk Sulaiman yang kemudian mengislamkan Datu
Luwu, dan Datuk Abdul Jawad yang menyebarkan Islam di daerah Tiro. Ketiga
datuk itu merupakan teman seperguruan dalam mempelajari agama Islam di
Aceh dan kedatangan mereka di Makassar atas perintah Sultan Johor (Pelras
2006: 159).
Dalam Lontara Wajo disebutkan bahwa ketiga datuk tersebut berasal dari
Koto Tangah di wilayah Minangkabau. Kedatangan ketiga mubalig itu merupakan
jawaban atas misi penyebaran agama Kristen yang gencar dilakukan Portugis
di Sulawesi Selatan sekitar pertengahan abad ke-16. Persaingan antara bangsa
Portugis dengan para pedagang Melayu telah berlangsung lama di wilayah
itu. Para misionaris Portugis berusaha menyebarkan pengaruhnya ke dalam
lingkungan istana kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dan terutama kepada
penguasa Gowa dan Tallo yang merupakan kerajaan paling berpengaruh dan
terkuat pada masa tersebut. Antonio de Payva menulis dalam suratnya mengenai
kunjungannya ke Sulawesi Selatan pada 1542 bahwa
. . . lawan saya adalah pendatang Melayu Islam . . . dari Sentana (Ujung
Tanah), Pao (Pahang) dan Patane (Patani), yang berusaha supaya raja
mengubah maksudnya (untuk menerima agama Katolik), karena sudah
lima puluh tahun lebih mereka datang berdagang di situ . . .. (Sewang
2004: 88).
Pandangan de Payva mengenai orang Melayu tersebut ditemukan pula dalam
Lontara Wajo yang mengisahkan sikap kurang senang orang Melayu setelah
melihat sejumlah orang Makassar dan Bugis dipengaruhi oleh ajaran agama
30