Page 123 - Toponim Magelang
P. 123

Toponim Kota Magelang    111











                     ditumbuhi pohon berjenis  kacang-kacangan tersebut. Faktor yang mempengaruhi
                     banyaknya pohon kemiri di Kampung Kemirirejep, yakni faktor tanahnya sangat subur.

                     Bukan hanya untuk keperluan memasak, jalinan  relasi masyarakat Jawa tempo
                     dulu dengan kemiri dapat dibuktikan pula dengan lahirnya  unen-unen (peribahasa):
                     “kutuk nggendhong kemiri”. Ungkapan lokal ini mengandung arti ikan kutuk (gabus)
                     menggendong buah kemiri. Bahwa sebuah sindiran sekaligus nasihat kepada perempuan
                     yang bepergian jauh namun menggunakan perhiasan cukup banyak. Padahal, jalan yang
                     ditempuh tidak aman atau berbahaya.


                     Menurut tuturan masyarakat setempat, di Kampung  Kemirikerep punya tokoh
                     legendaris atau pepunden bernama Mbah Kyai Sapon. Lelaki yang hidup era kolonial
                     ini merasuk  di hati warga  karena mampu  melindungi kampung  dan  sebagai  paran
                     poro alias jujugan warga tatkala diterpa masalah. Lantaran memiliki jasa atau peran
                     di masa lampau, kuburan Kyai Sapon yang terletak di pemakaman RT 07/ RW 03
                     sebelah Mesjid Al-Huda itu dijadikan tempat ziarah, terlebih pada bulan Ruwah. Dalam
                     tradisi orang Jawa, bulan Ruwah merupakan momen untuk mendoakan arwah leluhur
                     secara kolektif sekaligus membersihkan (besik) jaratan atau pemakaman. Tradisi kuno
                     ini dikerjakan pertengahan sasi Ruwah, yakni bulan ke-8 dalam kalender Jawa atau
                     bersamaan dengan Sya’bar dalam kalender Hijriah.

                     Di Kampung Kemirikerep, terdapat bangunan sejarah yang menyimpan kisah historis
                     perkembangan Kota Magelang, yakni bengung (sirine) dan sarana irigasi (buk kalikota).
                     Menurut informasi warga, kala itu, bengung difungsikan pemerintah Belanda untuk
                     memberitahukan kepada mayarakat adanya pesawat tentara Jepang (musuh) yang akan
                     mendekat atau masuk ke kawasan itu. Dengan bunyi sirine, warga dihimbau segera
                     masuk rumah dan bersembunyi di lubang bawah tanah yang sudah dipersiapkan
                     sebelumnya. Hampir setiap rumah punya persembunyian bawah tanah guna berlindung
                     dari ancaman musuh. Setelah Jepang berhasil menduduki Magelang, bengung dipakai
                     untuk bersembunyi karena masyarakat meyakini bahwa tentara Jepang hanya ingin
                     menjarah harta dan benda milik warga.


                     Sementara itu, buk kalikota merupakan bangunan warisan Belanda yang masih
                     difungsikan untuk irigasi yang sumbernya mengalir dari Gunung Tidar, alun-alun sampai
                     Patrobangsan. Masyarakat kontemporer masih memakai sarana itu, meski mengalami
                     renovasi beberapa kali karena bangunan dicaplok usia. Sarana irigasi dari tengah kota
   118   119   120   121   122   123   124   125   126   127   128