Page 207 - Jalur Rempah.indd
P. 207

REMPAH, JALUR REMPAH DAN DINAMIKA MASYARAKAT NUSANTARA  197



               dengan armadanya sebanyak tujuh kapal, dan memaksa raja untuk berpikir

               dan membuat kontrak dengan Kompeni Belanda.

                   Pada    6 Juli  1643,  Jambi  juga  menerima nasib  serupa.  Tujuan  kontrak
               itu adalah memberikan monopoli kepada Kompeni, mengusir para pembeli
               Tionhua, mencegah inflasi harga dengan menetapkan harga tertentu  dan
               menerapkan pembatasan perkapalan Jambi. Semakin tergantung Jambi pada

               Batavia secara ekonomi, semakin renggang hubungannya dengan Mataram.
               Hal  serupa  terjadi dengan Palembang  meskipun  dalam  ukuran  lebih  kecil,
               namun  hubungan  dagangnya  dengan  Jawa  tetap  erat.  Sebagai  akibat  dari
               ikatannya dengan Banten pada 1657,  1677 dan Makassar, tindakan disiplin
               dijalankan  dengan penandatangan kontrak baru (1662, 1678).  Terbukti hal
               ini diperlukan untuk menjamin monopoli Kompeni di Palembang. Di Jambi
               dan Palembang,  lemahnya  ikatan  dengan Mataram  terungkap  dalam  gelar

               para penguasa yang mulai menyebut dirinya Sultan sejak tahun 1670.

                   Aceh  juga  harus  ditundukkan,  karena  Kompeni  mengerahkan  sasarannya
               pada daerah timah di semenanjung Malaka, khususnya  demi menjamin
               perdagangannya di Persia dan Kedah (1642), Ujung Salang (1643), Bangeri
               (1645),  dan  Perak  (1650),  mereka   dipaksa  membuat  kontrak satu  persatu.

               Sejak 1647 kapal-kapal Moor tidak mendapatkan hak untuk berdagang di Perak.
               Setelah perundingan lama di Aceh, satu-satunya koloninya yang  masih tersisa
               di semenanjung itu selain Perak, Johan Truytman pada  Desember 1650 berhasil
                                                         191
               membuat kontrak monopoli dengan raja Perak.  Dia melarang semua penduduk
               Moor berangkat dari sana dan menyerahkan perak yang mereka miliki ke Malaka.


                   Apa yang disebut konsesi  1638 untuk lada Sumatera Barat dan hak istimewa
               pada 1641, dialihkan menjadi kontrak pada 1649. Hak-hak istimewa yang
               ditetapkan sekali lagi ditegaskan pada 1659.  Hak-hak istimewa itu berisi antara
               lain separuh produk perak di Perak, sebuah kantor di Padang yang digunakan
               untuk perdagangan emas, dan monopoli perdagangan di pelabuhan Aceh
               diberikan kepada Belanda. Ketakutan pada persaingan Inggris menjadi salah satu
               faktor yang memainkan peranan penting dalam kebijakan yang dianut di sana.

               191  J.A. Van der Chijs, Dagh-register.
   202   203   204   205   206   207   208   209   210   211   212