Page 23 - Merayakan Ibu Bangsa_201216_1406
P. 23

Dengan rinci, Kartini membedah akar ketidakadilan
            yang menimpa perempuan sebangsanya. Ia
            mempersoalkan  penindasan  perempuan yang
            memanfaatkan alasan adat dan agama. Dalam
            suratnya kepada Stella, 23 Agustus 1900, ia
            mengkritik poligami:

                    “Kami tak boleh bercita-cita. Satu-satunya
                    yang boleh kami mimpikan adalah hari
                    ini atau besok menjadi istri yang kesekian
                    bagi salah seorang lelaki. Aku menantang
                    mereka   yang    dapat   menunjukkan
                    ketidakbenaran ini. Kaum perempuan di sini
                    tidak boleh menyatakan keinginan apa pun;
                    mereka begitu saja dikawinkan... dikawinkan
                    dengan siapa saja yang dipandang baik oleh
                    orang tuanya... Tidak setiap orang Islam
                    mempunyai empat orang istri, tetapi dalam
                    dunia  kami tiap  perempuan yang  telah
                    kawin mengetahui bahwa dia bukan satu-
                    satunya istri suaminya, dan hari ini atau
                    besok suami tercinta dapat saja membawa
                    pulang seorang perempuan untuk menjadi
                    temannya, yang memiliki hak sama atas
                    suaminya... Hampir tiap perempuan yang
                    aku kenal di sini mengutuk hak lelaki itu.
                    Namun kutukan itu tak berguna, seharusnya
                    kami bertindak.” (Vreede-De Stuers 2008: 67)

            Terlepas  dari  kritiknya  yang  tajam  terhadap
            poligami,  Kartini  diperintahkan  ayahnya  untuk
            menikah dengan Bupati Rembang yang saat itu
            memiliki  tiga  istri.  Kartini  pun  menjadi  korban


                                                       23
   18   19   20   21   22   23   24   25   26   27   28