Page 86 - Merayakan Ibu Bangsa_201216_1406
P. 86

Perempuan yang Peduli

        Melani Budianta*

               Suara  lagu  Ibu  Pertiwi  dan  Kasih  Ibu
        bergema di ruang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
        4 Maret 1998. Saat itu tiga perempuan, Karlina
        Supelli, Gadis Arivia dan Wilasih Noviana diadili
        karena bersama sejumlah perempuan melakukan
        demonstrasi “Suara Ibu Peduli” di bundaran Hotel
        Indonesia (HI) pada 23 Februari. Mereka menggugat
        kebijakan ekonomi yang membuat harga susu
        melonjak, anak-anak kekurangan gizi, dan ibu-ibu
        di  keluarga miskin semakin  “bingung  mengatur
        belanja dan memikirkan masa depan keluarganya”
        (pledoi Gadis Arivia, 1998).
               Gerakan yang diprakarsai para perempuan
        aktivis dengan Yayasan Jurnal Perempuan ini tidak
        sekadar turun ke jalan, tetapi juga mengumpulkan
        dan membagi  susu  murah untuk  para  ibu  yang
        membutuhkan. Simbol  dan seruan  “Ibu  yang
        peduli” dengan segera disambut oleh ibu-ibu dari
        berbagai wilayah Jakarta, yang merasa kebutuhan
        mereka disuarakan dan diperhatikan.
               Simbol “Ibu yang peduli” yang menjadi
        populer itu sebetulnya mengandung permasalahan
        yang  disadari oleh perempuan  aktivis,  termasuk
        penggagasnya. Apakah hanya Ibu yang peduli dan
        yang bertugas mengurusi persoalan gizi dan masa
        depan anak-anak (Bapak tidak)?  Apakah  semua
        Ibu peduli? Apakah semua perempuan dikodratkan
        menjadi Ibu? Memitoskan Ibu berisiko mengentalkan
        stereotip yang mengotakkan perempuan.

        86
   81   82   83   84   85   86   87   88   89   90   91