Page 87 - Merayakan Ibu Bangsa_201216_1406
P. 87
Tetapi pilihan untuk memakai kata “Ibu”
pada saat itu merupakan suatu strategi yang
efektif untuk menghadapi kekuasaan pemerintah
Orde Baru dan militer. Kata “Ibu” membangkitkan
kedekatan emosional pada semua orang, laki-laki
maupun perempuan, tentara, penguasa maupun
orang biasa – karena semua orang punya ibu.
Perlu diingat bahwa saat itu suasana sedang dalam
kondisi siaga satu – dan ini adalah demo pertama
di tahun 1998 yang kemudian disusul oleh demo
mahasiswa dan masyarakat untuk menurunkan
Soeharto. Mitos “Ibu” berpotensi melunakkan
kekerasan militer.
Gadis Arivia menyebutkan pilihan itu
sebagai “strategi representasi” untuk membungkus
“politik susu” – suara perempuan melawan berbagai
kebijakan Orde Baru yang semakin mengukuhkan
kuasa, sentralistik, militeristik dan tidak lagi
berpihak pada rakyat kecil. Kita juga perlu ingat
bahwa dalam banyak hal, Orde Baru meletakkan
perempuan sebagai warga nomor dua, bukan
sebagai agen perubahan. Dalam organisasi Dharma
Wanita, misalnya, tugas perempuan pertama-
tama adalah mendukung karir suami, sebaliknya
perempuan yang berpolitik dianggap berbahaya.
Jadi, apa yang dilakukan perempuan yang berarak
membawa poster-poster dan bernyanyi seputar
bundaran HI di awal 1998 adalah suatu tindakan
yang berani. Dan ternyata, inisiatif ini membuahkan
simpati yang besar dari masyarakat. Jaringan yang
kemudian terbangun antara para aktivis, ibu-ibu
dari berbagai latar belakang, dan berbagai lapisan
masyarakat –menjadi sistem pendukung di hari-
87

