Page 95 - Merayakan Ibu Bangsa_201216_1406
P. 95
lain yang tidak kita kenal. Melalui buku pelajaran
kita mengingat ciri-ciri khas sebuah negara atau
kelompok: Orang Aceh menari seudati, Orang
Minang punya lembaga Nagari, dan seterusnya.
Jika kita tidak pernah berinteraksi, hanya ciri-ciri
khas itu yang menempel dalam ingatan. Dalam
sebuah acara lokakarya, seorang teman dari Ambon
menceritakan dengan getir, bagaimana ketika ia
berkunjung ke rumah teman di Jawa, orangtua
sang teman heran karena kulitnya putih, rambutnya
lurus, dan mengira ia tidak biasa makan nasi karena
hanya tahu sagu. Stereotip disosialisasikan di media
massa, melalui iklan di televisi, budaya populer dan
karya seni, dan bisa saja terbawa dalam ajaran,
khotbah dan ceramah.
Stereotip bisa bersifat netral, tapi bisa juga
mengandung konotasi negatif yang menimbulkan
prasangka, rasa takut, dan bahkan bisa mengarah
pada penolakan. Jika seorang mulai ditolak atau
dibedakan perlakuannya karena latar belakang etnis,
ras, agama, jenis kelamin, dan lapisan sosialnya, maka
ia mengalami diskriminasi. Diskriminasi yang disertai
kebencian dan keinginan untuk menyingkirkan atau
membunuh mewujud pada rasisme. Penolakan dan
kekerasan dapat terjadi di ruang publik, di sekolah,
ruang bermain, di kantor, di jalan dan kendaraan
umum. Rasisme dan diskriminasi bahkan dapat
dilembagakan melalui aturan, undang-undang dan
dipraktikkan melalui kebiasaan dan tradisi. Jika di
masa kolonial kita dikotakkan oleh penguasa, saat ini
masyarakat mengotakkan diri melalui pemukiman
berbasis satu lapisan sosial, agama atau etnis, dan
pembatasan pergaulan.
95

