Page 45 - Perempuan Dalam Gerakan Kebangsaan
P. 45

Dra. Triana Wulandari, M.SI., dkk. (eds.)

                    sebagai ketidak adilan, melainkan dengan rasa menyerah dan tawakal
                    menerimanya sebagai sesuatu yang wajar (1)] ... [Tapi adakah manusia ini
                    mempunyai keinginan?] (surat Kartini kepada Abendanon-Mandri,
                    Agustus 1900)


                     Dari isi surat tersebut, dapat dipahami mengapa dalam notanya
                Kartini mengharapkan agar para Bangsawan  dididik kembali
                akhlaknya, mengingat pelaksanaan tatasusila di kalangan masyarakat
                Jawa merupakan hegemoni para lelaki bangsawan, sementara para
                perempuan, anak-anak serta kawulo cilik (rakyat keeil) menerima
                dan menganggapnya sebagai suatu kewajaran. “Silahkan, saya orang
                Jawa” Demikian jawaban kakak perempuan Kartini, ketika ia
                menyampaikan niatnya membebaskan diri dari tradisi yang katanya
                “menyesakkan nafasnya.”

                     Pada zaman kolonialisme Hindia Belanda, banyak kalangan atas
                Bumiputera  yang  dibenum (diangkat sebagai pegawai) oleh
                Pemerintah Hindia Belanda menjadi pegawal Pemerintah
                (Binnenlands Bestuur) yang apabila dinyatakan berprestasi akan
                dikukuhkan sebagai bangsawan. Oleh karena itu, tidak mengherankan
                apabila terdapat oknum ‘bangsawan’ yang berperilaku arogan, yang
                menggunakan bahasa kekuasaan daripada menggunakan bahasa
                tanggungjawab, integritas serta akuntabilitas. Pertanyaan Kartini
                mengenai “adakah manusia ini mempunyai keinginan?” merupakan
                isu yang menjadi keprihatinan Albert Memmi (1965), bahwa
                kolonialisme serta sistem sosial lainnya yang sengaja atau tidak
                menindas sebagian masyarakat akan menimbulkan pengulangan
                budaya represif di kalangan masyarakat itu sendiri.
                     Untuk bangsa Jawa yang berabad-abad tidak punya keinginan,
                situasi tidur berkepanjangan memang merupakan saat kegelapan
                sebuah bangsa, bukan saja secara hasan, tetapi juga dalam arti
                harafiah. Judul buku kumpulan surat Kartini Door Duisternis Tot
                Licht (DDTL) (1911) seakan-akan menyampaikan, bahwa sejarah
                bangsa Jawa pada zaman kolonial berada dalam kegelapan. Analogi


                                             13
                                              13
   40   41   42   43   44   45   46   47   48   49   50