Page 191 - Kelas_11_SMA_Sejarah_Indonesia_Semester_1_Siswa_2016
P. 191
perjanjian. Selanjutnya sistem administrasi tradisional berubah ke sistem
administrasi modern. Suatu sistem yang mana pemerintahan mengambil
alih sistem pemimpin pribumi ke sistem birokrasi kolonial. Kebijakan ini
ditetapkan untuk mengambil posisi penting dari pemimpin daerah ke tangan
Belanda. Sistem itu memisahkan pemimpin pribumi dari akar hubungan
tradisonal dengan rakyatnya, mereka kemudian dijadikan pegawai dalam
birokrasi kolonial.
Serangkaian tindakan penjajahan Belanda tersebut telah menimbulkan
banyak perlawanan dari pihak bangsa Indonesia. Strategi perlawanan yang
ditempuh waktu umumnya dengan perlawanan bersenjata. Sayangnya
perlawanan dalam menghadapi kekuatan kolonialisme dan imperialisme
itu masih bersifat lingkup daerah atau wilayah tertentu. Riau melancarkan
perlawanan sendiri, Banten perang sendiri, Mataram angkat senjata sendiri,
Makasar begitu, Tondano juga begitu dan begitu seterusnya perlawanan
Diponegoro berdiri sendiri, Padri sendiri, Aceh sendiri. Bahkan dari masing-
masing daerah atau pihak Indonesia ini bisa diadu domba. Orang-orang
Madura diadu domba dengan Mataram, Aru Palaka dari Bone diadu dengan
Hasanuddin dari Makassar, pasukan Ali Basya Sentot Prawirodirjo diadu
dengan pasukan Padri. Sudah barang tentu ini sangat tidak menguntungkan
dan sangat melemahkan para pejuang Indonesia. Pengalaman ini
menunjukkan pentingnya cara-cara yang lebih terorganisasi dan didasarkan
pada persatuan dan kesatuan.
Sementara itu, pemerintah kolonial menerapkan kebijakan ekonomi yang
berbasis pada sistem kapitalisme Barat, melalui komersialisasi, sistem moneter,
dan komoditas barang. Sistem itu didukung dengan kebijakan pajak tanah,
sistem perkebunan, perbankan, perindustrian, perdagangan, dan pelayaran.
Dampak dari itu semua, kehidupan rakyat Hindia Belanda mengalami
penurunan kesejahteraan. Kebijakan itu mendapat kritik dari politikus
dan intelektual di Hindia Belanda, yaitu C.Th. Van Deventer. Ia membuat
tulisan yang berjudul “Een Eereschlud’ (utang kehormatan), yang dimuat di
majalah De Gids (1899). Dalam tulisannya Van Deventer mengatakan bahwa
pemerintah Hindia Belanda telah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk
membangun negeri mereka dan memperoleh keuntungan yang besar. Oleh
karena itu, menurutnya sudah sewajarnya Belanda membayar utang budi itu
dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara jajahan.
183
Sejarah Indonesia