Page 51 - Toponim sulawesi.indd
P. 51

Jaringan Maritim Indonesia: Sejarah Toponim Kota Pantai di Sulawesi  37

                 ketika Gowa dikalahkan oleh tentara aliansi VOC dengan sekutunya,

                 kerajaan-kerajaan lokal seperti Bone, Buton, dan Ternate. Kekalahan Gowa
                 yang sebelumnya menguasai Bantaeng berangsur-angsur di bawah kendali

                 kekuasaan Kerajaan Bone. Kekuasaan Bone ini juga menandai perdagangan
                 yang luas dan intensif di kota-kota pantai di Sulawesi bagian Selatan yang
                 terintegrasi dengan kota-kota lainnya  Makam Raja dan keluarganya serta
                                                    26
                 warga Bantaeng menunjukan kuat dan lamanya Bantaeng di bawah pengaruh
                 Bone.  Pengaruh Bone sejak kekalahan Gowa  sampai pada pantai Timur

                 Sulawesi Timur. Wilayah-wilayah sebagai penghasil komoditas perdagangan
                 di teluk Bone hingga pantai Timur Sulawesi Timur atau di sisi barat Laut Banda
                 seperti Buton, Muna, Kendari, Kolaka, Selayar, Bonerate, Bungku, dan Mori,

                 menjadi wilayah yang memiliki hubungan baik dengan Bone. Arung Palakka
                 yang dalam bahasa penguasa Gowa bersembunyi di Buton, sesungguhnya
                 hanyalah dominasi narasi. Fakta bahwa relasi tradisional Buton dengan

                 penguasa Bone telah mengakar lama, sehingga siapapun yang berasal dari
                 Bone seharusnya mendapat perlindungan.

                       Perdagangan, pelayaran, dan relasi tradisional dalam waktu lama inilah

                 yang mewarnai dinamika dan keragaman penduduk Bantaeng. Bantaeng
                 menjadi wilayah antara (transver) komunitas lain sebelum masuk ke kota
                 Makassar sebagai pusat kekuasaan kolonial. Pelabuhan Bantaeng juga

                 menjadi tempat persinggahan barang (komoditas) perdagangan sebelum
                 masuk ke kota Makassar. Pada titik tertentu,  Bantaeng menjadi ruang

                 aman dari pengawasan sebelum barang-barang masuk ke kota dan pasar
                 di  Makassar.  Kelansungan  kota Bantaeng  juga  didukung oleh keberadaan
                 air melalui 11 sungai yang setiap saat menyediakan air bersih untuk logistik

                 warganya dan untuk kepentingan bekal dalam pelayaran dan perdagangan.
                 26  Greg Acciaoli, “From Economic Actor to Moral Agent: Knowledge, Fate and Hierarchy among the
                    Bugis of Sulawesi,” Indonesia Oct., 2004, no. 78 (2004): 147–79. Lihat juga E.L. Poelinggomang,
                    Perubahan Politik Dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942 (Yogyakarta: Ombak, 2004).
                    Lihat juga, Anthony Reid, “Pluralisme Dan Kemajuan Makassar Abad Ke-17,” in Kuasa Dan
                    Usaha Di Masyarakat Sulawesi Selatan, ed. Roger Tol dkk. (Makassar: KITLV Press, 2009), 73–
                    94. Gerrit Knaap and Heather Sutherland, Mansoon Traders: Ships, Skippers and Commodities in
                    Eighteenth-Century Makassar (Leiden: KITLV Press, 2004).
   46   47   48   49   50   51   52   53   54   55   56