Page 12 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 12
amat penting, waktunya mendesak, pembaca setia mereka ingin
tahu bagaimana cara terbaik menyikapi turbulensi ekonomi du-
nia saat ini. Apa pun akan mereka lakukan untuk mendapatkan
materi wawancara, termasuk menyusulku ke London.
Baiklah, aku memberikan waktu satu jam selepas konferensi.
Lagi-lagi wartawan mereka datang terlambat di gedung kon-
ferensi, dan aku sudah menumpang taksi bergegas menuju
bandara.
Editor itu kembali terburu-buru menelepon, bilang mereka
sudah berusaha mengirimkan wartawan terbaik mengejarku ke
Eropa, tetapi jadwalku terlalu padat untuk diikuti. Sambil ter-
tawa, dia bergurau, ”Kau tahu, Thom. Bahkan jadwalmu lebih
padat dibanding presiden.”
Demi sopan santun aku ikut tertawa, lantas berkata pendek,
”Kita lakukan saja sekarang di atas langit atau lupakan sama
sekali.”
”Seperti yang mungkin sudah disebutkan dalam e-mail, ini
akan menjadi judul di halaman depan.” Gadis dengan blus putih
dan rok hitam konservatif selutut itu masih melanjutkan dengan
kalimat pembukanya. ”Anda tahu, terus terang saya sedikit
gugup. Bukan untuk wawancaranya, tapi karena saya begitu
antusias. Ya Tuhan, saya baru pertama kali menumpang pesawat
besar. Ini mengagumkan. Lebih besar dibandingkan foto-foto
rilis pertamanya. Berapa ukurannya? Paling besar di dunia? Tiga
kali pesawat biasa. Dan saya menumpang di kelas eksekutif.
Teman-teman wartawan pasti iri kalau tahu redaksi kami meng-
habiskan banyak uang untuk membelikan selembar tiket agar
saya satu pesawat dengan Anda.”
Aku mengangguk, lebih asyik mengamati penampilan ”warta-
10
Isi-Negeri Bedebah.indd 10 7/5/2012 9:51:06 AM