Page 14 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 14
nyinggung harga dirinya. Dia terdiam sejenak, meremas jemari,
napasnya tersengal. Boleh jadi, kalau tidak sedang di pesawat,
dia sudah bergegas meninggalkanku, melupakan wawancara sial-
an ini. Boleh jadi pula, kalau aku bukan narasumbernya, bukan
siapa-siapa, aku pasti sudah dilemparnya dengan iPad atau
sepatu. Dia sepertinya belum pernah dipermalukan seperti ini.
Aku mengembangkan senyum, santai melambaikan tangan.
”Tentu saja aku begurau. Kau pastilah yang terbaik. Lagi pula,
aku hanya ingin membuktikan, apakah dugaanku saat bertemu
di atas pesawat ini benar, ternyata kau memang jauh lebih cantik
saat marah. Namamu Julia, bukan? Mari kita mulai wawancara-
nya.”
***
Aku tidak terlalu suka bicara di depan ratusan orang—yang satu
pun tidak kukenal. Berada di tengah pakar, akademisi, penerima
hadiah nobel ekonomi, birokrat, atau apalah yang mentereng
menyebut latar belakang masing-masing, mulai dari kartu nama
hingga basa-basi moderator memperkenalkan, sebenarnya mem-
buatku muak.
Ruangan dipenuhi praktisi keuangan dunia. Pialang, petinggi
sekuritas, direktur perusahaan raksasa, CFO, CEO, dan berbagai
strata manajerial kunci. Mereka sejatinya adalah serigala berbalut
jas, dasi mahal, sepatu mengilat tidak tersentuh debu, dan di-
antar dengan mobil mewah yang harganya ratusan kali gaji karya-
wan hierarki terendah mereka. Penuh semangat bicara tentang
regulasi, tata kelola yang baik, tetapi mereka sendiri tidak mau
diatur dan dikendalikan. Sepakat tentang penyelamatan dan
12
Isi-Negeri Bedebah.indd 12 7/5/2012 9:51:06 AM