Page 136 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 136
”Bukan di dua tangan, bodoh!” aku membentak. ”Kaupasang-
kan kaki dengan tangan.”
Polisi itu bingung, meski akhirnya menurut.
Dua menit berlalu, tiga polisi yang tersisa terborgol sempurna
dengan posisi aneh, duduk menjeplak, kaki kanan menyatu
dengan tangan kiri, atau sebaliknya. Aku mendorong polisi yang
kusandera, memukulkan popor senjata ke kepalanya—ini balasan
karena dia menyodokkan senjata ke lambungku. Polisi itu ter-
sungkur.
Petir menyambar untuk kesekian kali. Guntur menggelegar.
”Kau ikut kami! Berjalan di depan.” Aku menodongkan sen-
jata pada Rudi. ”Segera!” aku meneriakinya.
Rudi patah-patah dengan kedua tangan terangkat melangkah
menuju pintu. Opa dibantu Julia bergegas mengikutiku. Om
Liem yang masih tidak mengerti apa yang terjadi ikut me-
langkah.
Di bawah tembakan jutaan bulir air hujan, rombongan kami
menuju dermaga belakang, di sana tertambat satu speedboat. Aku
menyuruh yang lain segera naik, Opa menghidupkan mesin
speedboat.
”Terima kasih, Sobat.” Aku menoleh pada Rudi, melemparkan
senjata ke permukaan waduk.
”Kau berutang besar padaku, Thom.” Rudi mengusap wajah-
nya. Hujan deras membungkus kami.
”Aku akan membayarnya lunas dua hari lagi, lengkap dengan
seluruh bunganya. Kau pegang janjiku, janji seorang petarung.”
Aku menyeka ujung bibir yang terasa asin. Air hujan membuat
sisa darah di hidung mengalir.
”Kau akan kabur ke mana sekarang?”
134
Isi-Negeri Bedebah.indd 134 7/5/2012 9:51:09 AM