Page 132 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 132
”Biarkan aku berpikir, Thom.”
Aku menggeleng, tidak ada waktu lagi.
”Kau bisa diam dulu tidak, Thom!” Entah kenapa, tiba-tiba
Rudi berteriak kencang—yang pastilah kali ini didengar anak
buahnya di luar. Salah satu dari mereka mendorong pintu
kamar.
Dan dalam hitungan sepersekian detik, Rudi sudah meninju
wajahku. Telak. Aku terjengkang, kursi rotanku terpelanting, tu-
buhku berdebam jatuh. Demi melihat itu, Julia berteriak
kencang—lupa bahwa tadi dia juga menamparku di jalur darurat
tol.
Om Liem ikut berseru panik. Opa menghela napas.
”Diam, Bedebah! Kau tidak boleh melawan petugas. Jangan
pernah sekali-kali!” Rudi sudah berteriak kalap, jongkok, kasar
menarik badanku hingga berdiri.
Darah segar mengalir dari hidungku. Aku tersengal untuk dua
hal: Satu, kaget karena tiba-tiba ada bogem mentah menghajar-
ku. Dua, karena hidungku sakit sekali.
Enam anak buah Rudi masuk ke kamar, berbisik satu sama
lain, mencoba mencari tahu apa yang sedang terjadi. Hujan
semakin deras, cahaya kilat membuat terang semesta, guntur
menggelegar enam detik kemudian.
”Kauikuti semua permainannya, Thom. Dan kita lihat, apakah
aku bisa meloloskanmu dari sini atau tidak,” Rudi berbisik di
tengah suara guntur, tangannya masih menjambak rambutku.
Aku bergumam setengah putus asa. Permainan apa? Rudi
jelas tidak sedang berusaha membantuku lolos. Dia sedang
membalaskan pertarungan tinju kami semalam.
130
Isi-Negeri Bedebah.indd 130 7/5/2012 9:51:09 AM