Page 134 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 134
lagi, Rudi menyambar kursi rotan yang terpelanting, lantas
dengan wajah merah, berseru kalap, menghantamkannya ke
punggungku. Kursi rotan patah dua.
Julia menjerit, menutup mata. Om Liem kehabisan kata. Opa
tertunduk.
Salah satu polisi sebaliknya, berseru antusias, ”Dahsyat,
Bos!”
Petir menyambar di luar. Lengang sejenak sebelum gelegar
guntur panjang. Rudi merapikan rambut, melemparkan sisa kursi
rotan, menatap tubuhku yang tergeletak di lantai, lantas
berteriak pada dua anak buahnya. ”Buat dia siuman kembali!
Bersihkan darah di hidungnya. X2 tidak pantas melihat sasaran
kita seperti ini. Buat dia lebih rapi.”
Tawa senang penonton dilipat, dua polisi bergegas mendekat,
meletakkan senjata, membalik badanku yang terkulai, mengambil
kunci, membuka borgol tanganku. Inilah permainan yang Rudi
maksudkan. Kursi rotan tadi jelas tidak sempurna menghantam
punggungku, ujungnya yang lebih dulu mengenai lantai. Itu trik
biasa di dunia gulat layar kaca. Seolah-olah kena telak, tapi
tidak. Seolah-olah kursinya penyok, nyatanya tipu. Lantas pe-
gulatnya akan pura-pura terkapar.
Aku jelas tidak pingsan.
Aku bergerak cepat setelah borgolku lepas. Tanganku meraih
senjata di lantai, dan hanya dalam hitungan sepersekian detik aku
memukulkannya ke dagu salah satu polisi yang jongkok hendak
membersihkan darah di wajahku. Polisi itu terkapar sungguhan,
satu giginya lepas. Temannya yang terkesiap tidak sempat be-
reaksi. Aku lebih dulu meraih kerah bajunya, menariknya mundur,
lantas mengacungkan senjata persis ke kepalanya.
132
Isi-Negeri Bedebah.indd 132 7/5/2012 9:51:09 AM