Page 102 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 102
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
Danoehadiningrat, seorang putera bangsawan Yogyakarta, sebagai
berikut: .
44
Adnan Kapau Gani, “Sementara ini, enaknya gini aja dulu, Sup!
Kalau situ dahar gudek ame nasi, jangan lupa plus ama empek-
empeknya!”
Muhammad Yamin menimpali, “…….dan bagusan
lagi……tambah rendang”. Kemudian disambut lagi oleh pemuda
Bandung, “Yang paling baik gudek met empek-empek met sagu met
oncom met lain-lainnya lagi!”
Dalam perkembangannya, persatuan di kalangan pemuda
akhirnya tercapai oleh intensifikasi dialog maupun diskusi-diskusi
diantara mereka. Gedung Indonesische Clubhuis (I.C) di Kramat Raya 106,
Batavia yang juga menjadi tempat tinggal para pemuda, diantaranya
Mohammad Yamin yang telah menjadi mahasiswa Recht Hogeschool,
sering menjadi tempat diskusi mereka dengan cara-cara unik dan lebih
bersifat spontan. Biasanya, setelah makan malam mereka lanjutkan
dengan diskusi di meja makan dengan topik-topik pembicaraan sekitar
masalah politik, kemasyarakatan, kebudayaan, dan lain-lain yang
berlangsung hampir setiap malam.
Para pemuda itu juga mendidik diri dan menggariskan tahun
1928 bahwa pemimpin harus pandai mendekati dan menyelami hati
rakyat. Pemuda-pemuda pada tahun 1928 sudah menganggap puncak-
puncak kebudayaan daerah sebagai kebudayaannya sendiri, yakni
kebudayaan Indonesia. Salah satu contoh, yaitu Abu Hanifah, pemuda
asal Sumatera Barat pandai menarikan “Gatotkaca Gandrung”, tarian
Minahasa, tarian Ambon, di samping tarian Sumatera Barat. Ia juga bisa
berbahasa Jawa dan memahami “Epos Mahabarata”, walaupun ia
lulusan A.M.S bagian B (Ilmu Pasti Alam) dan mahasiswa Kedokteran
yang tentu saja tidak mempelajari Sastra. Selain itu ia juga mahir
bermain sepak bola. Jadi saat itu, pemuda memiliki kemampuan serba
komplit, baik dalam organisasi, seni, maupun sport.
Pemuda-pemuda tahun 1928, termasuk Mohammad Yamin
adalah seorang pemuda idealis-utopis pada jaman itu. Mereka memiliki
cita-cita sangat tinggi, padahal kondisi dan situasi saat itu sama sekali
belum terbayangkan adanya kemungkinan untuk mewujudkannya.
Mereka berbicara tentang tanah air, bangsa, bahasa, negara merdeka,
padahal politik pemerintah Kolonial Belanda sangat keras terhadap hal-
hal yang remeh dan biasa sekalipun. Secara perorangan, para pemuda ini
94 Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya