Page 97 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 97
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
menjelaskan tentang keterangan dasar: “Indonesia yang bersatu, dengan
menyingkirkan perbedaan golongan, dapat mematahkan kekuasaan
penjajahan”. Tujuannya ialah memerdekakan Indonesia melalui suatu
aksi massa nasional yang insaf dan berdasar pada tenaga sendiri. Ia
menegaskan dengan adanya dua jenis penjajahan, yakni penjajahan
politik dan ekonomi, maka aksi itu harus ditujukan kepada kemerdekaan
politik dan sikap menentang kapital asing yang menyedot kekayaan
Indonesia. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa politik non kooperasi
adalah sendi perjuangan rakyat Hindia.
Di samping itu, dikatakannya, bahwa kerjasama dengan penjajah
untuk mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia adalah menipu diri
sendiri. Kerjasama hanya bisa terjadi di antara dua golongaan yang sama
hak dan kewajiban serta kepentingannya. Apabila syarat itu tidak
dipenuhi, maka kerjasama tersebut berarti mempermainkan “yang
lemah” oleh “yang kuat” untuk kepentingan sendiri. Oleh sebab itu,
Indonesische Vereeniging menolak kerjasama dan tetap bertujuan untuk
mencapai cita-cita kemerdekaan. Arah perjuangan Indonesische
Vereeniging telah berubah menjadi organisasi politik tersebut, tidak
terlepas dari pengaruh kehadiran Tiga serangkai (Douwes Dekker, Tjipto
Mangoenkoesoemo, dan R.M. Soewardi Soerjaningrat) yang diasingkan
ke Belanda. Begitu pula, nama majalahnya mengalami perubahan dari
“Hindia Poetra” yang terbit pada 1915 menjadi “Indonesia Merdeka”
pada 1924.
Selanjutnya, tindakan radikal yang diambil pada masa
kepemimpinan Nazir Pamuncak ialah pemecatan terhadap Noto Soeroto
dan J.B. Sitanala. Noto Soeroto, penganut politik asosiasi adalah bekas
mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Leiden. Ia putera Pangeran
Notodiningrat dari Pakualaman Yogyakarta. Ia termasuk seorang
pendiri Indische Vereeniging. Namun, ia kemudian membuka toko buku di
Den Haag setelah berhenti kuliah. Ia juga dikenal sebagai seorang
sastrawan dari Hindia di Nederland dan karangannya telah dibaca secara
luas. Pada 1924, Arnold Mononutu membaca tajuk rencana majalah
“Udaya”. Dalam tajuk tersebut, Noto Soeroto memuji jasa dan budi baik
van Heutsz sebagai pacificator Indonesia. Van Heutsz dinilai oleh Noto
Soeroto sebagai seorang “pahlawan” yang telah berjasa mendatangkan
keamanan di Hindia Belanda.
Menurut Arnold Mononutu, pendapat Noto Soeroto dianggap
salah dan tidak dapat diampuni. Ia meminta kepada Nazir Pamuncak
sebagai ketua Indonesische Vereeniging untuk mengadakan rapat anggota.
Dalam rapat itu, Arnold Mononutu tampil sebagai jaksa penuntut dan
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 89