Page 94 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 94

Sejarah Pemikiran Indonesia Modern



                kesukuan  yang  diperbesar  oleh  pemerintah  Kolonial  dalam  rangka
                politik  “devide  et  impera”  (politik  ‘memecah  belah’).  Meskipun  muda,
                mereka telah berpengalaman dalam gerakan pemuda, seperti Jong Java,
                Jong Sumatera, Jong Minahasa, Jong Ambon, dan sebagainya. Mereka,
                diantaranya  Mohammad  Hatta  yang  tiba  di  Belanda  pada  1921  untuk
                melanjutkan  kuliah  di  Handels  Hogeschool  di  Rotterdam,  Iwa  Kusuma
                Sumantri    kuliah   di   Ilmu   Hukum     di   Leiden,   Darmawan
                Mangoenkoesoemo kuliah di Chemis di Delft, dan lain-lain. Pada periode
                1919 hingga 1921, Indische Vereeniging dipimpin oleh Ahmad Soebardjo
                Djojoadisurjo  yang  kemudian  dilanjutkan  oleh  Soetomo  yang
                memimpin organisasi tersebut dari 1921 hingga 1922.
                           Dalam dinamika antar mahasiswa tersebut terdapat dua aliran,
                yakni aliran moderat dan aliran progresif. Aliran moderat yang dipimpin
                Noto  Soeroto  menghendaki,  di  samping  sebagai  anggota    Indische
                Vereeniging,  golongan  moderat  ini  ingin  tetap  memelihara  hubungan
                dengan negeri Belanda, meskipun dalam bentuk rijk eenheid. Selanjutnya,
                golongan  progresif  berhasil  merubah  Indische  Vereeniging  pada  1922
                menjadi Indonesische Vereeniging yang dilakukan oleh pengurus organisasi
                di  bawah  kepengurusan  Herman  Kartowisastro  (ketua),  Soewarno
                (sekretaris),   Mohammad     Hatta   (bendahara),   dan   Darmawan
                Mangoenkoesumo      (archivaris).   Di   samping   perubahan   nama
                perkumpulan,  mereka  juga  banyak  memberi  perhatian  pada
                perkembangan  pergerakan  yang  terjadi  di  tanah  air,  Hindia  Belanda.
                Mereka mendiskusikan, diantaranya “November Belofte” (Janji November)
                yang  disampaikan  Gubernur  Jenderal  Hindia  Belanda  J.P.  Graaf  van
                Limburg  Stirum  (1916-1921)  pada  18  November  1918.  Ketika  itu,  ia
                memberikan  sambutan  pada  pembukaan  Volksraad  (Dewan  Rakyat)  di
                Batavia  yang  menjanjikan  bahwa  Volksraad  kelak  merupakan  wakil
                seluruh  rakyat  Hindia  Belanda  dan  akan  memberikan  perbaikan-
                perbaikan kepada penduduk bumiputra. Janji ini tidak pernah direalisasi
                karena  dinilai  bersikap  lunak  terhadap  penduduk  Hindia  Belanda.  Ia
                ditarik dan diganti dengan Gubernur Jenderal baru yang bersikap keras,
                yakni D. Fock (1921-1926) yang dalam pemerintahannya diwarnai oleh
                arus  pemogokan  dari  Sarekat  Islam  dan  PKI  dengan  Sarekat  Sarekat
                Buruh di bawah naungan kedua partai politik tersebut. Di masa inilah
                terjadi  pembuangan  para  pemuda  bumiputra  ke  Digul,  ke  luar  negeri
                atau terbelenggu dalam penjara kolonial.
                        Hermawan  Kartowisastro  dan  kawan-kawannya  mencela  keras
                sikap  kolonial    Pemerintah  Hindia  Belanda  dengan  gubernur
                jenderalnya.  Keadaan  buruk  yang  melanda  tanah  air  mempengaruhi



                86     Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya
   89   90   91   92   93   94   95   96   97   98   99