Page 93 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 93
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
Sikap ini tercermin saat pencetusan Sumpah pemuda pada
Oktober 1928, meskipun JIB merupakan salah satu dari 10 (sepuluh)
pergerakan pemuda yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Dalam hal
ini, Mohammad Roem sebagai anggota JIB Cabang Jakarta,
menyaksikan Djohan Mohammad Tjai, pelajar senior dari Recht Hoge
School mewakili pengurus Kongres Pemuda 1928. Namun, JIB tidak ikut
fusi oleh karena asas JIB adalah Islam. Hal ini sudah dibicarakan
sebelumnya dalam pengurus, artinya sudah ada saling pengertian yang
menjadikan JIB masih dipandang perlu ikut dalam Kongres Pemuda ke
36
II 1928 tersebut . Walaupun demikian, pada dasarnya pandangan
perjuangan kedua kelompok ini terhadap bangsa adalah sama, sehingga
antara JIB dan IM merupakan kekuatan gerakan pemuda yang kokoh
dan siap bekerja sama.
2.5. Solidaritas Nasional: Perhimpunan Indonesia
Indische Vereeniging yang didirikan, salah satunya oleh R.M.
Moto Soeroto- mahasiswa Ilmu Hukum, di Den Haag pada 1908,
ditujukan bagi kepengurusan para pelajar Hindia Belanda yang
menempuh pendidikan di negeri Belanda. Adapun keanggotaannya,
tidak hanya terbatas dari suku bangsa di Hindia saja, melainkan juga
berasal dari keturunan Cina dan Belanda. Perkumpulan yang bersifat
sosial budaya ini, berhubungan erat dengan beberapa tokoh-tokoh
masyarakat Belanda, diantaranya Mr. Abendanon, mantan Kepala
Pendidikan di Hindia Belanda, Van Deventer, Prof. Steinmetz, Prof. Dr.
Snouck Hurgronje, mantan penasehat Pemerintah Hindia Belanda.
Mereka membimbing para anggota Indische Vereeniging dalam rangka
politik Etis yang berlandaskan cooperation and association . Selain itu,
37
tokoh-tokoh Belanda ini sering diundang pula untuk mengadakan
ceramah di kalangan anggota Indische Vereeniging, seperti yang dilakukan
Sam Ratulangi saat menjabat sebagai ketua organisasi itu pada 1914-
1915. Walaupun demikian, Indische Vereeniging memiliki arti penting
bagi penyemaian bibit-bibit yang dapat mempersatukan para pelajar dari
Jawa, Sumatera, Sunda, Madura, Ambon, Minahasa, dan lain-lain yang
sedang menuntut pendidikan di Belanda tersebut. Perasaan kesukuan
merekapun semakin hilang secara pelan-pelan yang dalam
perkembangannya berganti dengan perasaan kebangsaan.
Pasca Perang Dunia I pada 1918, jumlah mahasiswa Indonesia
yang belajar ke negeri Belanda semakin bertambah besar. Kedatangan
angkatan muda untuk belajar di negeri Belanda ini membawa angin
segar, karena anggapan-anggapan tentang perbedaan-perbedaan, seperti
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 85