Page 115 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 115
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
13) E.F.E. Douwes Dekker yang dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur
pada 1879 berlatar belakang pendidikan Indische Art, seorang Indo
Belanda yang berjiwa nasionalis. Ia adalah cucu dari kakak Eduard
Douwes Dekker (Multatuli), penulis buku Maxhavelaar yang menarik
simpati, terutama dari kalangan kelompok pendukung politik Ethis di
Belanda terhadap usaha-usaha pembaharuan di Indonesia. Douwes
Dekker menerima gelar dan bintang The Boer’s Fighting Man (Pejuang
bangsa Boer) dari Presiden Republik Transvaal, Afrika Selatan Paul
Kruger oleh karena jasanya dalam Perang Boer menghadapi penjajah
Inggris. Bergabungnya Douwes Dekker dalam Perang Kemerdekaan di
Afrika Selatan ini, tanpa persetujuan Ratu Wilhelmina yang
mengakibatkan Douwes Dekker dicabut sebagai warga negara Belanda.
Namun, ia merasa bangga tidak diakui sebagai orang Belanda, sebab ia
merasa bahwa dirinya bukan Belanda. Ia mengaku sebagai orang
Hindia (Soewito, Irna H.N. Hadi. Soewardi Soerjoningrat Dalam
Pengasingan. Jakarta: Balai Pustaka, 1985, hal. 21).
14) Nama kecil: Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Lahir di Yogyakarta
tanggal 2 Mei 1889. Ia adalah seorang keturunan bangsawan kraton,
cuku Paku Alam III, seorang raja di Yogyakarta. Sebagaimana kita
ketahui bahwa pada tahun 1813 kerajaan Yogyakarta oleh pemerintah
kolonial Inggris di bawah pemerintah Raffles, kerajaan tersebut dibagi
dua dengan mengangkat raja baru yaitu Paku Alam I di samping Sultan
Hamengku Buana di Yogyakarta. Sekalipun ia seorang keturunan
bangsawan, namun Soewardi Soerjaningrat tidak menonjolkan gelar
kebangsawannya.
15) Darsiti Soeratman, Ki Hajar Dewantara, Jakarta : Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, Depdikbud, 1983/1984, hal. 38.
16) Darsiti Soeratman, Ibid, hal. 39.
17) Sutrisno Kutoyo, Prof. H. Muhammad Yamin. Jakarta: Direktorat
Sejarah dan Nilai Tradisional, Depdikbud, 1981/1982, hal. 16.
18) Terbentuknya Trikoro Darmo pada 1915 tidak bisa dilepaskan dari
kegiatan Budi Utomo memasuki kancah politik. Budi Utomo berusaha
menciptakan kaderisasi yang kuat bagi organisasinya dan terutama
difokuskan untuk pelajar-pelajar dari sekolah-sekolah di lingkungan
Jawa. Satiman Wirjo Sandjojo menangkap gejala itu, sehingga atas
inisiatifnya terbentuklah organisasi yang mewadahi pelajar-pelajar Jawa
yang sedang menuntut ilmu pada sekolah menengah di perantauan.
Organisasi Tri Koro Darmo diartikan tiga tujuan mulia yang
menekankan aktivitas soosial, yakni: pertama, menjalin pertalian antara
murid-murid bumi putera dan sekolah menengah dan kursus keguruan;
kedua, menambah pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya; ketiga,
membangkitkan dan mempertajam perasaan yang berlaku untuk semua
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 107