Page 51 - Warta Bea Cukai Edisi Oktober 2018
P. 51
SOSOK
Sebagai seorang tentara, dia terlibat dalam sejumlah pertempuran penting. Selain misi penjagaan
di sejumlah titik strategis juga terjun di medan laga berperang melawan tentara Sekutu dan
Belanda. Memang kekuatan tentara Republik tak segarang lawannya yang sudah makan asam
garam peperangan tapi semangat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan membuat
semangatnya tak pernah pupus.
Hingga akhirnya perang kemerdekaan RI melawan pendudukan tentara Belanda di Indonesia
selesai pada tahun 1949. Soeharnomo di TRIP merupakan jajaran dari TNI Brigade XVII Detasemen
I TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) Jawa Timur didemobilisasi dengan menyerahkan
seluruh peralatan militer dan persenjataan kepada pemerintah RI. “Jabatan terakhir saya waktu
itu komandan Regu I merangkap sebagai Wakil Komandan Peleton III Kompi IV Batalion TRIP Jatim
dengan pangkat sersan. Kami harus kembali ke bangku sekolah menyelesaikan pendidikan. Pada
waktu itu saya duduk di kelas 2 SMA.”
Tahun 1951 tamat SMA langsung test masuk Institut Angkatan Laut (angkatan pertama) di
Surabaya. Karena baru saja menjalani ujian akhir SMA otak masih segar, maka lulus SMA langsung
diterima masuk pendidikan di Morokrembangan Surabaya. Masuk jurusan Pelaut (Zee Dienst).
Saat kesempatan libur ia pulang ke Jember menengok ibu dengan maksud membuat surprise ibu
(ayahnya meninggal ketika umurnya 10 tahun) bahwa telah diterima sebagai calon perwira AL.
Dipikir pasti ibunya senang karena menjadi perwira AL, kenyataan malah sebaliknya, begitu ibunya
diberitahu bukannya gembira tetapi malah sedih dan menangis sepanjang malam.
Ibunya tidak setuju Soeharnomo jadi tentara. Ibunya bilang, “Kakakmu sulung jadi korban bom
Jepang di Semarang (kakak saya kerja di pabrik di Semarang yang dibom oleh Jepang), kakakmu
satunya jadi tentara, sekarang kamu mau jadi tentara lha saya nanti ikut siapa” “Sedih sekali waktu
itu tetapi saya bisa memahami perasaan orang tua. Atas desakan ibu saya sekembali ke Surabaya
saya langsung menghadap KSAL waktu itu Pak Soebyakto untuk mengajukan permohonan
mengundurkan diri,” kenang Seoharnomo yang ketika itu meski dimarahi akhirnya pengunduran
dirinya dikabulkan tanpa harus mengembalikan biaya pendidikan.
Selanjutnya masuk ke STT (Sekolah Teknik Tinggi) Gajah Mada, kemudian namanya menjadi Fakultas
Teknik Universitas Gajah Mada. Pada waktu itu asal nilai ujian akhir SMA bagus bisa diterima di
fakultas apapun tanpa tes. Di sini saya tidak sampai satu tahun karena masalah biaya hidup tidak
mencukupi. Kami dapat tunjangan dari pemerintah (KUDP= Kantor Urusan Demobilisan Pelajar)
hanya Rp 125,-- sebulan sedangkan untuk bayar kost 1 kamar isi 4 orang sudah Rp 100,-- per orang,
belum biaya beli buku dan kebutuhan lain uang bulanan tadi tidak mencukupi. Akhirnya dengan
beberapa kawan pergi ke Jakarta mengadu nasib mencari pekerjaan lain yang lebih baik.
Masuk Bea Cukai
Mendengar ada lowongan di Bea Cukai Jakarta akan dididik menjadi Adjunt Kontrolir Pabean,
bersama teman lainnya dari TRIP Jawa Timur yaitu Riyanto, Moelyadi, Sopeharmadji, G. Soetjipto,
Bram Paryoga dan ia sendiri pada 5 Februari 1952 datang ke Kantor Besar Bea Cukai (sebutan untuk
Kantor Pusat waktu itu) untuk mendaftar. Kepala Jawatan (Dirjen) waktu itu adalah Tapiheroe dan
Kepala Personalia, Saleh.
“Tadinya ditolak karena belum waktunya pendaftaran, kami mendesak agar diterima dulu bekerja
sambil menunggu pendidikan. Setelah melalui perdebatan agak tegang akhirnya kami diterima
untuk magang (meelopen). Saya dan Riyanto magang di Surabaya, Bram Paryogo di Semarang,
Soeharmadji, G. Soetjipto dan Moelyadi di Tanjung Priok,” ujarnya.
Volume 50, Nomor 9, September 2018 - Warta Bea Cukai | 49