Page 19 - MODUL APRESIASI PROSA Berbasis kearifan Lokal Batak Toba
P. 19
Tetapi, bintang-bintang di langit malam yang berangkat tua,
memberi kodrat lain pada pertemuan pandang seperti itu. Apakah
arti sepuluh tahun di bumi bagi bintang-bintang di ruang angkasa?
Sebelum keduanya tahu apa-apa, keduanya telah menemui diri
mereka dalam pelukan pihak lain. Mata mereka basah. Bibir mereka
berkali-kali saling bersentuhan. Sentuhan, yang dengan paksa
membuka pintu besi berkarat ke masa lampau.
Tangan mereka saling berpegangan. Keduanya tak tahu mau
mengungsikan ke mana bahagia mereka malam ini.
“Ke mana?” tanya istrinya.
Ke mana? Ya, Allah! Sesudah sepuluh tahun, ia masih juga belum
dapat menjawab pertanyaan serupa itu. Dirinya adalah justru tanya
itu sendiri, bukan jawabnya.
“Entah,” bisiknya. Bisik, antara bisik dan usaha untuk … namun tak
menyia-nyiakan malam ini.
“Kau masih seperti dahulu juga,” kelakar istrinya.
Suara itu menyatakan dakwaan yang mengambang dalam kasmaran
yang telah memperbarui dirinya kembali.
“Aku masih tetap aku,” jawabnya. Tangan istrinya semakin erat
digenggamnya. Keduanya tak adapat memulai percakapan biasa.
Dada mereka terlalu sesak. Kata-kata mereka sangkut di
kerongkongan, untuk kemudian mereka telan kembali bersama
ludah asin.
Mereka sampai di ujung kakilima. Mereka berhenti. Persimpangan
jalan yang dihadapi itu sangat membingungkan. Ia selalu
dibingungkan oleh sekian arah sekaligus. Pandangnya dilarikannya
ke bintang-bintang langit malam. Lama ia menatapnya, sambil
mendengarkan pernapasan istrinya yang tegak di sampingnya. Pelan
mereka membalik, menyusuri kakilima itu kembali.