Page 18 - MODUL APRESIASI PROSA Berbasis kearifan Lokal Batak Toba
P. 18
Dengan hormat sekali, ia untuk kedua kalinya malam itu berusaha
jangan terlalu melukai perempuan itu. Pelan-pelan ia mengiringnya
keluar pintu.
“Selamat sore,” sapanya sekali lagi, petang esoknya.
“Selamat sore.”
Nada suara istrinya seperti kemarin. Lurus, dangkal. Netral,
seperti netralnya keindahan barang-barang di balik kaca pajangan.
Ia melihat ke sekeliling. Tak ada laki-laki lain. Ia hampiri istrinya.
Istrinya memandanginya. Persis pandangan pedagang jagal sapi
pada langganan yang baru masuk kedainya.
Bingung ia dibuat pandangan seperti itu. Danau biru bening yang
ditinggalkannya sepuluh tahun lalu pada kedua mata itu, tak
ditemuinya. Tiba-tiba satu rasa yang khas menusuk masuk ke dalam
dirinya. Rasa, yang menyuruh ia cepat berpaling saja, lari
meninggalkan istrinya. Tetapi, niatnya ini dibatalkan segera oleh
satu bau di udara. Bau minyak wangi dan pupur harga murah.
Ia terkejut sekali! Berbeda bau ini dari minyak wangi yang dulu
acap dibelinya bagi istrinya. Memang, tak sering ia membelinya.
Tetapi, sekali ia beli, pastilah itu dari jenis paling bagus, paling
mahal. Bau ini dapat memuncakkan segala kasih birahinya kepada
istrinya.
Satu rangsang nakal hinggap atas pelupuk matanya. Ia ingin
tajam-tajam memandang dalam mata istrinya. Kalau perlu, dengan
segala risiko yang dibawa oleh pandangan nakal serupa itu.
Tetapi… di luar dugaannya, istrinya sedikit pun tak menundukkan
kepalanya. Dengan usaha untuk di saat terakhir mempertahankan
dirinya, ia membalas tatapan mata suaminya itu. Untuk suatu ketika,
mereka saling berpandangan, menerobos ke lubuk jiwa masing-
masing.