Page 21 - MODUL APRESIASI PROSA Berbasis kearifan Lokal Batak Toba
P. 21
Istrinya tersenyum. Sejenak, ia menatapi suaminya baik-baik.
Matanya menyatakan penjungkiran suatu harapan yang hampir
berhasil dibangunnya. Sinar gaib memancar dari kedua bola
matanya. Sinar dari penderitaan selama (dan pembalasan untuk)
sepuluh tahun. Senyum bibirnya sejak itu memiliki kepastian.
“Ayo! Mari…,” desaknya lagi.
Berpegangan tangan erat sekali mereka berdua pergi dari pojok
jalan itu. Langkah-langkahnya doyong, diseret oleh langkah-
langkah pasti istrinya. Tiba-tiba istrinya berhenti.
“Tunggu dulu!” katanya, sambil mengetuk tangan suaminya.
“Ada apa?”
“Tarifku dua ratus sampai tengah malam. Sampai pagi, dobel….”
Seperti kena sambar halilintar di siang bolong, tubuhnya menjadi
kejang dan kelu. Mukanya pucat pasi. Ludah basi dan asin sekali
dengan kentalnya merekatkan geraham-gerahamnya. Pandangannya
pudar, makin pudar. ia melihat segumpal bayang saja lagi.
Tetapi tak lama kiamat kecil ini berlangsung dalam dirinya. Pelan-
pelan ia bangkit kembali dari titik nadir kesadarannya dan naik ke
titik zenith-nya untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan tentang
dirinya di dalam pertautan persoalan antara dia, istrinya, dan seluruh
alam raya. Ia mengerti!
Pelan-pelan getar-getar kecil tadi datang kembali, makin lama
makin banyak. Napasnya, tubuhnya, kembali membara. Akhirnya,
ia dapat memulihkan kembali garis-garis profil wajah istrinya,
wajah yang tersenyum menantang, tersenyum menang….
Esok paginya, dengan kereta api pertama yang berangkat subuh,
ia meninggalkan kota itu. Ia telah memutuskan untuk mencari kota
lain saja tempat ia menetap.