Page 363 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 OKTOBER 2020
P. 363

Menopang penghasilan

              Buruh perusahaan elektronik, Leni (41), menambahkan, dirinya sudah bekerja di perusahaan
              selama  21  tahun.  Kendati  demikian,  pendapatannya  masih  di  bawah  Rp  5  juta.  Karyawan
              perusahaan elektronik yang berkantor di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, ini beruntung lantaran
              suaminya juga bekerja dan berpenghasilan tetap.

              "Jika RUU Cipta Kerja ini disahkan, tidak terbayang nasib kami ke depan. Sekarang saja hidup
              sudah pas-pasan. Saya beruntung punya suami yang juga punya penghasilan tetap. Tetapi, bagi
              buruh yang suami atau istrinya tak bekerja, pasti hidup akan lebih berat.

              Pemutusan hubungan kerja dan upah yang minim belakangan ini menghantui kehidupan banyak
              buruh.  Kekhawatiran  yang  umumnya  dibangun  dari  pengalaman  di  masa  lampu  ini  semakin
              menguat setelah Rancangan IJndang-lJndang Cipta Kerja disetujui disahkan menjadi UU.

              Apalagi, bagi karyawan kontrak yang tak punya kepastian kapan akan diangkat," katanya.

              Penghapusan  UMSK,  misalnya,  akan  berdampak  pada  penurunan  pendapatan.  Jika  kelak
              perusahaan mengacu pada upah minimum provinsi (U M P), gaji Leni akan turun karena UMP
              Jawa Barat lebih kecil dibanding UMSK Bogor.

              Peran Leni sebagai pengurus serikat juga membuatnya dalam tekanan. Ia pernah masuk ke
              dalam daftar PHK pada 2018. "Untung saja semua karyawan mogok secara bersamaan waktu
              itu sehingga perusahaan membatalkan PHK itu," ujarnya.
              Menurut Leni, buruh berperan penting dalam menopang perekonomian Indonesia. Oleh karena
              itu, buruh harus dilindungi.

              Resahkan keluarga

              RUU Cipta Kerja turut membuat waswas keluarga buruh. Ika Handayani (39), ibu rumah tangga
              asal Palmerah, Jakarta Barat, misalnya, kini harus mengirit uang belanja. Ini karena suaminya,
              Abdul  Manap  (40)  yang  bekerja  sebagai  pesuruh  kantor  (office  boy/OB),  selalu  dibayangi
              ancaman PHK. Apalagi, statusnya hanya Pekerja alih daya.

              Selama pandemi ini, setidaknya sudah ada enam rekan OB Abdul yang diberhentikan begitu saja
              tanpa  pesangon.  Alasan  perusahaan  adalah  efisiensi.  Perusahaan  yang berlokasi  di  Jalan  KS
              Tubun,  Petamburan,  Tanah  Abang,  Jakarta  Pusat,  itu  kini  hanya  mempekerjakan  dua  OB,
              termasuk Abdul.

              "Setiap hari suami bilang, jangan boros-boros. Takutnya kalau kena PHK, enggak ada pesangon,"
              kata Ika saat ditemui di rumahnya.

              Kekhawatiran Ika dan Abdul bukan tanpa alasan lantaran PHK bukan sesuatu yang asing bagi
              mereka.  Abdul  pernah  mencicipi  pahitnya  PHK  massal  tiga  tahun  silam  saat  masih  bekerja
              sebagai OB di salah satu perusahaan ritel di Kota Tangerang, Banten. Padahal, ia sudah bekerja
              selama delapan tahun di tempat itu.

              "Waktu itu juga enggak ada pesangon. Tetapi, sama ven-dor, suami saya dijadikan OB bantuan.
              Kerjanya pin-dah-pindah dari satu kantor ke kantor lain," tambah Ika yang juga mantan OB.

              Abdul dan Ika kini tinggal di rumah orangtua Ika di Palmerah. Di lahan seluas 14 meter persegi
              itu dibangun rumah bersusun tiga. Di situlah pasangan ini bermukim bersama tujuh anggota
              keluarga  lainnya.  Rumah  itu  berbatasan  langsung  dengan  area  pemakaman  TPU  Grogol
              Kemanggisan.



                                                           362
   358   359   360   361   362   363   364   365   366   367   368