Page 18 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 28 SEPTEMBER 2020
P. 18
Kegagalan transformasi perekonomian ke sektor industri dan jasa bernilai tambah tinggi,
berimplikasi serius: terperangkapnya sebagian besar tenaga kerja berpendidikan rendah di
sektor pertanian dan sektor jasa informal yang bernilai tambah rendah, dan karenanya hanya
memberi upah yang rendah dengan perlindungan kerja yang minim. Dari 63,8 juta
buruh/kaiyawan/pegawai di Indonesia, hanya sepertimanya yang berstatus pekerja tetap dengan
upah relatif memadai, dengan sisanya adalah pekerja tidak tetap yang terperangkap pada
pekerjaan dengan upah rendah. Terlihat jelas bahwa, tanpa RUU Cipta Kerja sekalipun, upah
pekerja Indonesia secara umum sudah rendah, dimana lebih dari 50 persen pekerja memiliki
upah dibawah UMPyang pada 2019 rata-rata di kisaran Rp 2,5 juta.
Narasi utama dari RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan adalah kemudahan bagi pengusaha
untuk merekrut dan melepas buruh dengan murah. Dengan mobilitas kapital lintas wilayah
yurisdiksi untuk keuntungan maksimum, fleksibilitas pasar kerja menjadi tuntutan standar kapital
global untuk efisiensi operasional dan daya saing produk. Tenaga kerja yang mudah dan murah
untuk masuk (direkrut) dan keluar (dilepas) pasar tenaga kerja, menjadi jargon untuk daya saing
perekonomian dengan tenaga kerja berlimpah seperti Indonesia.
Dibawah RUU Cipta Kerja, upah buruh akan semakin murah dengan hilang-
nya UMK (upah minimum kabupaten-kota), menyisakan UMP(upah minimum provinsi) yang
kenaikannya kini hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi daerah saja, tanpa menyertakan
inflasi. Dengan UMP umumnya jauh lebih rendah dari UMK, maka kehilangan UMK yang
merupakan jaring pengaman upah di tingkat lokal, akan menjadi pukulan keras bagi pekerja.
Di Jawa, 51 persen pekerja memiliki upah diatas UMP, namun hanya 31 persen yang upahnya
diatas UMK. Keberadaan UMK selama ini signifikan menopang upah buruh khususnya di
metropolitan Jawa dan daerah penyangganya, seperti Jabodetabek (Jakarta Raya) dan Ger-
bangkertasusila (Surabaya Raya). Dihapuskannya UMK berpotensi menurunkan tingkat
kesejahteraan 12,4 juta pekerja di Jawa yang pada 2019 upahnya telah berada diatas UMK. Pala
gilirannya, dihapuskannya UMK akan menekan tingkat upah 39,4 juta pekerja Jawa secara
keseluruhan, khususnya pekerja tidak tetap dengan sistem pengupahan mingguan, harian,
borongan dan persatuan hasil.
Ketidakseimbangan pasar tenaga kerja, seperti pengangguran, setengah menganggur dan upah
rendah, berkontribusi besar pada kemiskinan, karena rendahnya tingkat mobilitas, daya tawar
dan kapasitas mencari pekerjaan alternatif bagi si miskin. Ketika seseorang hidup dekat pada
tingkat subsisten, resiko dan biaya psikologis untuk berpindah pekerjaan adalah tinggi relatif
terhadap pendapatan potensial.
Terpuruk upah di jurang kemiskinan
Untuk menolong pekerja berupah rendah, kebijakan upah minimum telah lama diadopsi
Indonesia Namun kebijakan ini sering dipandang berdampak negatif terhadap lapangan kerja,
terutama pekerja tidak terdidik, muda dan perempuan yang upahnya dibawah rata-rata.
Kebijakan upah minimum akan membuat pengusaha mencari subtitusi buruh tidak terampil
sehingga mendorong teijadinya pemutusan kerja atau turunnya kesejahteraan. Kebijakan upah
minimum juga tidak memberi manfaat ke mayoritas pekerja miskin yang justru menanggung
beban karena produsen menaikkan harga barang. Dalam perspektif mainstream ini, kebijakan
upah minimum hanya akan mendistorsi pasar tenaga kerja dan menekan investasi.
Namun, faktanya, kebijakan upah minimum tidak hanya menguntungkan pekerja dengan upah
rendah, namun juga kelas menengah secara keseluruhan melalui perbaikan struktur upah.
Kenaikan upah minimum, selain menolong pekerja dengan upah rendah, juga akan memberi
dorongan ke atas bagi tingkat upah sebagian besar tenaga kerja di kelas menengah. Sebaliknya,
penurunan upah minimum akan turut mendorong stagnasi upah pekerja kelas menengah.
17