Page 147 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 8 OKTOBER 2020
P. 147
pada tata cara pembuatan undang-undang, bukan hanya soal sosialiasi, tapi harusnya pakai
Perpu dan diuji di DPR," kata Fahri.
Menurut Fahri, UU Cipta kerja ini bukan undang-undang hasil revisi atau amandemen, melainkan
undang-undang baru yang dibuat dengan menerobos banyak undangundang. Selain melangggar
konstitusi, UU Cipta Kerja ini juga merampas hak publik dan rakyat, sehingga jelas-jelas
melanggar HAM. "Ini bukan open policy, tapi legal policy. UU ini (UU Cipta Kerja-Red) dianggap
oleh publik dan konstitusi merampas hak publik dan rakyat sehingga berpotensi dibatalkan
secara keseluruhan oleh MK. Bisa dibatalkan total oleh Mahkamah Konstitusi," tegasnya. Mantan
Wakil Ketua DPR Periode 2014-209 ini mengaku tidak habis pikir dengan bisikan para penasihat
hukum dan tata negara Presiden Joko Widodo yang lebih mendorong pengesahan RUU Omnibus
Law Cipta Kerja menjadi UU daripada mengajukan Perppu atau melakukan sinkronisasi aturan
teknis. Fahri berpendapat apabila UU Cipta Kerja ini nantinya dibatalkan secara keseluruhan oleh
MK, maka bisa menimbulkan kekacauan pada aturan lain yang terkait. Sebab, Omnibus Law ini
bukan tradisi Indonesia dalam membuat regulasi, sehingga akan sulit diterapkan. MK sebagai
penjaga kontitusi (The Guardian Of Constitution) akan mempertimbangkan untuk membatalkan
UU Cipta Kerja, apabila ada judicial rewiew. Terpisah, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden
(KSP) Ade Irfan Pulungan menyatakan, buruh memiliki ruang untuk menggugat UU Cipta Kerja
yang disahkan DPR. Hal itu disampaikan Irfan menanggapi penolakan buruh terhadap UU Cipta
Kerja yang dinilai merugikan hak-hak pekerja. "Masih ada ruang jika tidak puas dengan undang-
undang yaitu judicial review ke Mahkamah Konstitusi ( MK)," kata Irfan saat dihubungi, Rabu
(7/10).
"Ini masih menunggu penomoran, 30 hari kalau tidak ditandatangani Presiden langsung berlaku
(Undang-undang Cipta Kerja). Itu kan belum dinomori, nanti diberi nomor dulu di Sekretariat
Negara," kata Ade. Judicial review lanjutnya, merupakan hak warga negara yang dijamin
peraturan perundang-undangan bagi semua pihak yang tak setuju dengan undang-undang yang
dibuat DPR bersama pemerintah. Untuk itu, ia meminta para buruh memanfaatkan ruang
tersebut agar UU Cipta Kerja bisa sesuai harapan mereka. Pembatalan Sementara itu,
Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) secara tegas menolak UU Cipta Kerja. Karena
sudah ditetapkan menjadi UU, maka akan dicari jalan untuk membatalkannya yaitu lewat judicial
review ke Mahkamah Kontitusi (MK) atau Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pembatalan Pengesahan UU Cipta
Kerja. "Kami akan mendesak pembatalan UU Cipta Kerja dan meminta Presiden Republik
Indonesia demi hukum mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu) tentang pembatalan pengesahan UU Cipta Kerja. Mengajukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi, jika Pemerintah memaksakan mengundangkan UU Cipta Kerja," kata
Sekjen KRPI, Saepul Tavip dalam siaran pers, Rabu (7/10). Menurut Saepul, beberapa perwakilan
masyarakat memang diberi kesempatan (terbatas dan sulit sebenarnya) untuk menyampaikan
gagasan. Namun, kata Sapeul, ruang publik yang dijanjikan terindikasi hanya sebagai kamuflase
agar terkesan telah memenuhi pasal 96 UU No 12/2011 yang mengamanatkan adanya pelibatan
masyarakat dalam proses pembuatan suatu undang-undang. Saepul meyakini hingga RUU itu
disahkan, tidak ada satu kesamaan draf RUU sehingga mencurigakan. Apalagi, menurut Saepul,
terdapat sejumlah perbedaan dengan hasil rapat panja RUU Cipta Kerja.
Saepul mencontohkan, pasal 59 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan pasal 66
tentang alih daya (outsourcing). Putusan Panja kembali ke UU 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan. Namun dalam draf final yang beredar menjadi syarat PKWT maksimal tiga
tahun dihapus dan hanya ada sekali perpanjangan PKWT, outsourcing tanpa batasan, berlaku
bagi jenis pekerjaan apapun (core dan non core), yang di UU 13/2003 jelas batasannya. "Bunyi
pasal tersebut jelas bernuansa kental semangat fleksibilitas yang memastikan penurunan
perlindungan terhadap pekerja, pekerja semakin rentan dilanggar hak-hak normatifnya, seperti
upah minimum (termasuk upah lembur) dan jaminan sosial," beber Saepul. (J13,ant,dtc-64).
146

