Page 7 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 8 MARET 2021
P. 7
berbeda-beda, yang hanya dapat dipenuhi oleh dukungan dari beragam sumber daya. Maka
itulah; - pemerintah baik pusat maupun daerah, praktisi, pemberi layanan, organisasi profesi,
perusahaan, organisasi masyarakat, komunitas penyandang disabilitas/organisasi perempuan
disabilitas, masing-masing untuk dapat mengontribusikan pengetahuan, pengalaman, keahlian,
sumber daya, pendanaan, dan kewenangan yang dimiliki.)
Bertalak dari sejumlah permasalahan di atas, Kementenan Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, (KemenPPPA) melalui Deputi bidang Perlindungan Hak Perempuan bekerja
sama dengan Sentra Advokasi Perempuan, Difabel, dan Anak (SAPDA) telah menerbitkan
Panduan Perlindungan Khusus dan Lebih bagi Perempuan Penyandang Disabilitas dalam masa
pandemi Covid-19. Hal ini penting sebagai upayameningkatkanperlindunganhak perempuan
penyandang disabilitas, terutama dalamhal pencegahan, agar perempuan disabilitas terhindar
dari Covid-19 maupun terkena dampak yang ditimbulkan oleh penyakit ini secara sosial, ekonomi,
psikologi, maupun kekerasan karena ada hambatan komunikasi/interaksi sosial, pemahaman,
informasi, atau mobilitas pada perempuan disabilitas.
Anggota Pusat Penelitian Kependudukan dan Gender LPPM Universitas Sebelas Maret (UNS) Rina
Herlina Haryantimenyebutkan, sejauh ini banyak laporan kekerasan yang terjadi pada
perempuan disabilitas yang masuk ke lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan dinas sosial tidak
maksimal. Ini disebabkan selama pandemi aktivitas kerja organisasi formal dan informal turut
terganggu karena ada pembatasan jarak atau bekerja di rumah. "Sama halnya dengan Japoran
dari KemenPPA, yang mencatat selama pandemi kekerasan meningkat akibat kasus yang tidak
dilaporkan. Budaya sulit melapor karena kekerasan masih ada," ujar Rina.
Pandemi Memperparah Kemiskinan
Dalam sebuah risetnya yang berjudul "Kelindan Pandemi, Feminisasi Kemiskinan dan Isu
Difabel", Rina mengemukakan bahwa pandemi Covid-19 memperparah dan memperdalam
kemiskinan perempuan disabilitas hingga 91%. Penghasilan mereka menurun, mengalami pailit,
serta meningkatnya jumlah utang. Parahnya, lagi mereka tidak memiliki cadangan uang.atau
tabungan sehingga masih harus melakukan mobilitas dan interaksi di tengah pandemi.
"Maka yang terjadi, mereka juga sangat rentan terpapar Covid-19. Para perempuan difabel ini
tidak mengetahui status kesehatan mereka, termasuk komorbid atau bukan. Jangankan untuk
general check-up seperti masyarakat pada umumnya, untuk dapat leluasa keluar beraktivitas
atau bekerja saja sebuah perjuangan. Informasi kesehatan (khusus untuk para perempuan
disabilitas) juga masih sangat kurang,"ujar Rina.
Di samping pengetahuan mengenai Covid-19 masih rendah, perempuan disabilitas juga sebagian
besar tak paham soal protokol kesehatan pencegahan Covid-19 untuk ragam difabel. Yang terjadi
di lapangan, mereka sering menerima informasi yang keliru, bahkan hoaks soal Covid-19. Kondisi
makin runyam lantaran informasi khusus untuk kaum disabilitas tidak sampai kepada mereka,
dan juga tidak dikhususkan kepada mereka. Belum lagi beda disabilitas sesungguhnya beda cara
pencegahannya. Misalnya sterilisasi untuk alat bantu dengar bagi mereka yang menyandang
rungu.
"Para teman-teman disabilitas banyak tidakpaham. Juga, krek putih, yang biasa untuk menemani
teman tunanetra (bepergian) memiliki kemungkinan terpapar virus. Jarang ada informasi yang
mengingatkan mereka untuk membersihkan selesai bepergian dari luar rumah. Begitu juga
dengan kursi roda yang kemungkinan dipegang oleh banyak orang," papar Rina.
Diskriminasi yang dirasakan perempuan disabilitas lainnya saat pandemi ialah bantuan.
Seringkali bantuan yang diberikan dipotong oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab dengan
berbagai alasan. "Data penerima bantuan juga masih belum baik sehingga masih banyak teman-
teman perempuan difabel yang tidak dapat bantuan. Data kaum disabilitas memang karut-marut.
6