Page 8 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 8 MARET 2021
P. 8
Di tingkat dunia pun demikian. WHO saja hanya menyebutkan 10% dari jumlah penduduk dunia
adalah difabel, tapi tidak tahu jumlah pastinya berapa dan di mana saja," tukas Rina.
Padahal, kata Rina, pemetaan disabilitas ini berguna untuk mengklasifikasikan jenis atau kategori
pererfipuan penyandang disabilitas. "Jika sudah termasuk difabel berat seperti mereka yang
hanya di tempat tidur saja, termasuk juga yang difabel mental, bantuan yang diberikan tentu
berbeda. Pemerintah juga mestinya harus turun tangan langsung karena pembagiannya
(pembagian bantuan) belum sampai sana (ke perempuan difabel). Mohon pemerintah untuk
memperbaiki data mengenai teman-teman difabel ini," kata peneliti yang kajiannya selalu
mengangkatmasalah disabilitas ini.
Tanggung Jawab Semua Pihak
Meski tak segan mengakui risetnya dalam skup terbatas, yaknihanya terhadap perempuan
disabilitas di Kota Surakarta, Jawa Tengah, namun menurut Rina, paling tidak risetnya tersebut
menggambarkan kondisi riil yang terjadi pada perempuan disabilitas. Apalagi, risetnya ini
bertujuan untuk melihat hubungan atau dampak secara langsung antarapandemi dengan isu
difabel dan feminisasi kemiskinan.
Metode penelitian kuantitatif ini menggunakan 100 orang sampel, yang dipilih secara non-
random sampling dengan menggunakan dua teknik yaitu aksidental dan purpossive sampling.
Respondenderdasarkanjenis disabilitasnya yakni difabel fisik(76%), tuna netra (12%), tuna
rungu/wicara (9%), down-Syndrome (1%) dan tuna grahita (2%). Berdasarkan status
pekerjaannya, 69% Informal, 28% tidak bekerja dan 3% pengemis.
Hasil penelitian menunjukan, pertama pandemi memperparah dan memperdalam feminisasi
kemiskinan yang terjadi pada perempuan difabel, (91%) penghasilan menurun, mengalami pailit
serta meningkatnya jumlah utang. Kedua, pandemi melanggengkan stigma triple diskriminasi
pada perempuan difabel, yakni perempuan, difabel dan miskin. Perempuandifabel masih
mengalami ableism, seksism, dpuble bourden dan tereksploitasi secara ekonomi. Namun
demikian perempuan difabel masih menjadi katup ekonomi keluarga.
Melakukan penelitian saat pandemi memang sebuah tantangan baru dan perlu strategi berbeda
dari riset biasanya. Perlu banyak cara untuk dapat menemukan jawaban dari setiap responden.
Selain memberikan langsung kuesioner, Rina mendatangi langsung mereka yang ada di pinggir
jalan karena tengah mengais rezeki menjadi pengamen atau peminta-minta.
"Pendekatan untuk survei tentu dilakukan dengan khusus, harus ada etika dan hati-hati. Apalagi,
warga Solo harga dirinya luar biasa karena ternyata mereka sudah terdidik di berbagai
perkumpulan komunitas. Sering dilatih mengenai harga diri, motivasi, dan sebagainya.
Kebanyakan mereka tetap bekerja meskipun masih ada bagian kecil yang masih meminta-minta,"
ucapnya berkisah.
Rina berharap, dengan penelitian yang dilakukannya, ia dapat mengenalkan isu difabel ini dan
menjadi bagian yang juga diberi perhatian lebih oleh banyak pihak. Rina yang juga penyintas
polio ini ingin mengangkat martabat teman-teman difabelnya dengan mengandalkan aktivitasnya
di dunia akademisi. "Kalau bukan saya yang membawa kajian difabel ini,lantas siapa yang akan
mengangkat. Mudah-mudahan apa yang saya lakukan juga dapat membawa teman difabel
lainnya dan dipahami bagaimana keadaan mereka," ujarnya.
Kesempatan Kerja untuk Kaum Difabel
Belum lama ini, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah berharap agar perusahaan-
perusahaan memberikan lebih banyak kesempatan kerja kepada kaum difabel, terlebih di masa
pandemi Covid-19. Ida berpesan agar perusahaan saat ini harus dapat menjadi perusahaan
inklusi, yang artinya perusahaan membangun hubungan ketenagakerjaan di dalam perusahaan
7