Page 36 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 8 FEBRUARI 2021
P. 36

ABK WNI TERUS JADI KORBAN, MEKANISME REKRUTMEN DAN PENGIRIMAN
              MENDESAK DIPERBAIKI
              JAKARTA  -  Mekanisme  rekrutmen  dan  pengiriman  anak  buah  kapal  (ABK)  warga  negara
              Indonesia mendesak diperbaiki.

              Hal ini disebabkan ABK WNI yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO)
              jumlahnya lumayan tinggi.

              Jumlah permohonan perlindungan ke LPSK pada tahun 2020 juga lebih tinggi dari 2019.
              Demikian disampaikan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Antonius PS
              Wibowo di Jakarta, Minggu (7/2-2021).

              Hal ini disampaikannya menyikapi data jumlah kematian ABK WNI sepanjang tahun 2020 yang
              dilansir Destructive Fishing Watch (DFW).

              Sebelumnya, anggota Komisi IV DPRRI, Slamet, menyoroti tentang lemahnya perlindungan ABK
              Indonesia yang menurutnya disebabkan karena regulasinya bersifat parsial, belum mengatur
              perlindungan dari hulu sampai hilir.

              Sependapat dengan Slamet, Antonius mengatakan bahwa pembenahan dari hulu bisa dilakukan
              dengan menerapkan mekanisme pemberangkatan satu pintu.
              "Agar (pemberangkatan) satu pintu, bisa dibentuk desk bersama antara Kemenaker, Kemhub,
              Kemdagri dan Pemda. Jika perlu keluarkan SKB (surat keputusan bersama) tiga Menteri," ujar
              Anton.

              Selanjutnya, diperlukan pendataan dan pembinaan ship manning agency. Maksudnya, agency
              harus dibina dan diawasi agar hanya memberangkatan ABK yang tersertifikasi, sediakan kontrak
              kerja yang jelas, asuransi, dll Jika ada ship manning agency yang terlibat TPPO perlu dibina, jika
              perlu dicabut izin operasionalnya. "Data ship manning agency yang terindikasi terlibat TPPO,
              antara lain ada di LPSK dan pengadilan" ungkap Anton.

              Selain itu, Anton juga mengingatkan persoalan pemenuhan hak ABK WNI yang menjadi korban
              TPPO, khususnya restitusi atau ganti kerugian dari pelaku kepada korban. "(Restitusi) ini harus
              menjadi perhatian semua stakeholder," imbuh dia.
              Sebab, lanjut Anton, dengan restitusi korban bisa mendapatkan hak-hak ketenagakerjaannya
              karena salah satu komponen dalam perhitungan restitusi adalah gaji yang belum dibayarkan.

              Untuk itu, regulasi tentang Restitusi harus dilakukan perubahan. "Pasal 50 (4) UU No. 21/2007
              tentang restitusi dapat diganti dengan pidana kurungan, harus diubah," katanya.

              Tidak itu saja, penyusunan aturan pelaksana tentang penyitaan dan pelelangan kekayaan pelaku
              TPPO untuk membayar restitusi harus segera diselesaikan.

              "Dalam konteks penegakan hukum, perlu mendorong proses hukum terhadap korporasi yang
              terbukti terlibat TPPO," ujarnya.

              Catatan LPSK, pada tahun 2020, persentase restitusi bagi korban tindak pidana relatif kecil. Dari
              total perhitungan restitusi yang dilakukan LPSK selama tahun 2020 sebesar Rp7.909.659.387,
              yang diputus dan dikabulkan hakim berjumlah Rp1.345.849.964. Sedangkan yang dibayarkan
              pelaku hanya berjumlah Rp101.714.000.




                                                           35
   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40   41