Page 25 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 3 MARET 2021
P. 25
EKONOMI DAERAH KINI JADI ACUAN UPAH BURUH
JAKARTA. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 tahun 2021
tentang Pengupahan. Peraturan pengupahan ini sekaligus merevisi PP Nomor 78/2015 tentang
Pengupahan. Poin penting aturan pengupahan ini; Pertama, upah minimum hanya ditetapkan di
tingkat provinsi. Sedangkan upah di tingkat kabupaten/kota bisa ditetapkan dengan syarat,
kondisi pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi.
Kedua, kenaikan upah minimum tidak lagi menggunakan angka acuan yang ditetapkan
pemerintah kepada pemerintah daerah (pemda), melainkan dengan menghitung kondisi
ekonomi dan kondisi pasar tenaga kerja di masing-masing daerah. Alhasil, setiap daerah akan
memiliki kenaikan upah minimum berbeda-beda.
Ketiga, ada aturan khusus untuk upah minimum bagi sektor Usaha Kecil Mikro dan Menengah
(UMKM) yang tak lagi berpatokan dengan upah minimum industri.
Dengan adanya peraturan baru ini, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) meminta agar
pengusaha mematuhi aturan yang ada. "Kami ingin, terutama kepada para pengusaha untuk
dapat mematuhi ketentuan yang sudah ditetapkan dan melaksanakan kebijakan secara bijak dan
proporsional dengan tetap mengedepankan itikad baik," ujar Direktur Jenderal Pembinaan
Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 (Binwasnaker dan K3) Kemnaker Haiyani Rumondang,
Selasa (2/3).
Menurut Haiyani, pelaksanaan kewajiban dan hak oleh para pengusaha menjadi hal yang penting
dalam penegakan hukum. Meski begitu, dia juga meminta agar pengusaha tetap memiliki rasa
kemitraan dengan para pekerja. Pemerintah meminta agar pengusaha tidak hanya menjadikan
pekerja sebagai mitra untuk menciptakan produksi, tetapi sebagai pihak yang membangun
kelangsungan usaha.
Haiyani berharap, seluruh pihak mulai dari pengusaha, pekerja hingga pemangku kepentingan
lain bisa memahami perubahan dan penyempurnaan mengenai aturan pengupahan yang ada.
Direktur Pengupahan Kemnaker Dinar Dinar Titus Jogaswitani menambahkan, berdasarkan hasil
evaluasi pemerintah menilai penetapan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sudah tidak relevan lagi
diterapkan. Sebab selama ini penetapan KHL ini menggunakan pendekatan kelompok komoditas
seperti makanan dan minuman, sandang, perumahan dan lainnya. Padahal komponen tersebut
tak selalu ada di seluruh Indonesia.
Tak hanya itu, metode survei KHL ini juga sulit dipertanggungjawabkan karena pelaksanaan
survei tidak independen atau sering kali di politisasi oleh kepala daerah. Dinar Titus menduga
dalam penetapan nilai KHL selama ini berdasarkan kesepakatan pihak tertentu, meskipun ia
enggan memperinci siapa.
Memantik pro kontra Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita
Silaban mengkritik isi beleid upah anyar ini. Ia berpendapat penetapan upah minimum
seharusnya masih mengacu pada KHL.
Sebab menurut Elly, PP 78/2015 memperhitungkan kebutuhan hidup layak (KHL) dengan
memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Namun penetapan upah minimum
berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sehingga membingungkan dalam
pelaksanaan.
"Jadi kalau kami menyoroti pengupahan itu sebenarnya harus kembali ke KHL, dari situ kita bisa
berangkat untuk melakukan kenaikan gaji buruh," ujar Elly.
24