Page 16 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 OKTOBER 2020
P. 16
Dilihat dari pembentukan UU, partisipasi masyarakat terbatas. Hal yang sama juga dapat terjadi
dalam pembuatan peraturan turunannya karena proses pembuatan yang tergesa-gesa. Belum
lagi besarnya potensi informasi yang simpang siur pada UU Cipta Kerja yang bisa berulang dalam
pembuatan PP dan Perpres yang banyak itu.
"Tapi, saya kira, pemerintah tidak terlalu memikirkan soal implementasi. Dugaan sementara
saya, ini soal citra internasional, di mana presiden mengejar peringkat easy doing business kita
naik lagi. Jadi, omnibus law ini komitmennya untuk itu. Bahasa teorinya disebut symbolic on
lawmaking" ujar Bilal.
Kasihan daerah
Peneliti pada Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) Universitas Padjadjaran, Wicaksana
Dramanda, menyebutkan bahwa peraturan turunan UU Cipta Kerja itu adalah PP, Perpres, dan
peraturan menteri. Tidak ada yang menyebutkan pembentukan peraturan di daerah untuk
implementasinya.
Padahal, kenyataannya, UU sapu jagat itu akan melahirkan problema di daerah.
Norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) diatur oleh pemerintah pusat. Bila NSPK-nya rigid,
maka akan mengganggu otonomi daerah. Wicak mencontohkan adanya pasal yang berbahaya
untuk otonomi daerah, yakni berkaitan dengan perda pajak dan retribusi yang harus dievaluasi
pemerintah pusat bila dianggap menganggu investasi, bahkan diharuskan untuk diubah perda-
nya.
Wicak mengatakan, frasa "mengganggu investasi" itu tidak jelas kriterianya. Tidak ada batasan
yang jelas sehingga akan menjadikan aturan tersebut ambigu. Selain itu, setiap perda yang
dibuat harus meminta nomor register ke pemerintah pusat.
"Artinya, perda itu akan dicek dulu, bersesuaian dengan aturan pemerintah pusat atau tidak.
Jika tidak, dipastikan nomor register tidak akan keluar," ucapnya.
Ia menyebutkan pula, omnibus law ini memiliki kecenderungan untuk menjadi sentralisasi yang
sebetulnya sudah tampak dari UU Pemerintahan Daerah.
Contoh sentralisasi ini tampak di dalam UU Cipta Kerja yang mengatur klaster lingkungan, di
mana perizinan yang tadinya berada di pemerintah provinsi menjadi terpusat di online single
sub-mission (OSS). "Padahal, yang berpotensi mengalami kerusakan itu di daerah, tapi yang
menilai malah pemerintah pusat," tuturnya.
Setelah membaca UU Cipta Kerja setebal 812 halaman, ia melihat adanya kecenderungan
kewenangan pemerintah pusat semakin besar, di mana delegasi aturan jauh lebih banyak pada
peraturan pemerintah. PP ini tidak perlu diawasi oleh DPR. Ia mencontohkan, dari 124 halaman
yang telah dibaca, setidaknya terdapat 115 PP yang didelegasikan UU Cipta Kerja.
"Perkataan pemerintah yang ingin menyederhanakan aturan justru tidak tecermin dari UU
Ciptaker yang banyak mendelegasikan ke PP, Perpres, dan Permen. Ini juga yang menyebabkan
kontrol dari DPR yang efektif tidak ada. Malah banyak hal sensitif menjadi kewenangan
pemerintah seorang," ujarnya.
Enggan terlibat
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memastikan tidak akan terlibat dalam pembahasan
aturan turunan UU Cipta Kerja.
Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, sikap tersebut sejalan dengan komitmen kaum buruh yang
hingga kini menolak omnibus law, terutama terkait dengan klaster ketenagakerjaan. "Buruh
15