Page 15 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 OKTOBER 2020
P. 15
"Ini kenapa tiga bulan? Aspirasi publik tidak akan tertampung (kalau hanya tiga bulan), padahal
efek UU Cipta Kerja berdampak ke publik," ucap Asep, Kamis (15/10/2020).
Apabila dibahas dalam waktu singkat, Asep khawatir, PP dan Perpres hanya akan melibatkan
para ahli. Dikhawatirkan pula, para ahli itu tidak berpihak kepada masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah dinilai terlalu ambisius apabila menargetkan pembuatan PP dan
Perpres selama 1-3 bulan.
Atas dasar itu, Asep meminta pemerintah untuk menunda pemberlakuan UU Cipta Kerja selama
satu tahun. Serap dulu aspirasi masyarakat dalam menyusun UU tersebut. Seiring dengan itu,
PP dan Perpres terkait UU Cipta Kerja pun bisa dibuat lebih matang dengan waktu satu tahun.
Sementara itu, pakar kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran Yogi Suprayogi menilai,
elemen masyarakat yang berpartisipasi dalam pembahasan PP dan Perpres harus jelas dan
representatif. Hal itu karena banyak pihak yang ingin aspirasinya ditampung. Buruh dan
pengusaha yang berkepentingan terhadap PP dan Perpres terkait dengan UU Cipta Kerja pun
tersegmen-segmen.
Yogi mengaku tak khawatir pembahasan PP dan Perpres berjalan secara tertutup. Menurut dia,
untuk mengawal pembuatan PP dan Perpres, masyarakat dapat memantaunya melalui jaringan
data informasi hukum di kementerian terkait.
Sangat sulit
Bilal Dewansyah, pakar perancangan peraturan perundang-undangan Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran, menyatakan bahwa merampungkan peraturan pelaksana UU Cipta Kerja
dalam beberapa bulan itu sangat sulit. Hal itu disebabkan materi yang sangat banyak dan
multisektor sehingga harus melahirkan banyak PP dan Perpres dari puluhan UU yang diubah
dengan omnibus law tersebut
"Kalau melihat pengalaman, pemerintah menyusun peraturan pelaksana untuk satu UU, PP, atau
Perpres itu umumnya lebih dari satu tahun," kata Bilal yang dihubungi di sela-sela menyelesaikan
program doktoral di Leiden University, Belanda, Kamis (15/10/2020).
la mengatakan, prosedur normalnya untuk menerbitkan peraturan turunan dari UU dimulai
dengan usulan dari kementrian atau lembaga terkait. Lembaga itu mengajukan daftar peraturan
pelaksana kepada Kementerian Hukum dan HAM, kemudian ditetapkan menjadi program
penyusunan PP dan Perpres.
Setelah itu, kata Bilal, dibentuk panitia antar kementerian untuk membahas rancangan PP atau
rancangan Perpres. Berikutnya, proses dilanjutkan dengan tahapan harmonisasi, sinkronisasi,
dan sebagainya di Kemenkumham.
"Memang sangat panjang prosesnya. Tapi, untuk penyusunan Perpres, dalam keadaan
mendesak, bisa langsung ke presiden. Kalau untuk PP, tetap harus mengikuti prosedur
normalnya tadi," ujar Bilal.
Menurut dia, turunan dari UU sapu jagat tersebut lebih banyak PP daripada Perpres. Dengan
demikian, semua prosedur panjang tadi harus dilalui. Jika pemerintah menyatakan mampu
menyelesaikan dalam waktu kurang dari tiga bulan, kata Bilal, itu akan berimplikasi pada kualitas
peraturan yang buruk. Pasalnya, fokus peraturan pelaksana ini pada level implementasi.
"Bisa jadi, di level implementasi itu, banyak mekanisme kerja yang tidak jelas, ambigu tidak
hanya pada soal bahasa," ucapnya.
14