Page 71 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 15 OKTOBER 2020
P. 71
sejalan dengan semangat konstitusi negara. Inilah yang disebut paradoks globalisasi. Demokrasi
memiliki hak melindungi kepentingan rakyatnya, dan ketika hak ini berbenturan dengan
kebutuhan globalisasi, negara seperti Indonesia menghadapi dilema antara mengikuti keinginan
globalisasi dan memenuhi mandat demokrasi.
Peluang yang tersisa
Sekarang marilah kita melihat peluang yang masih tersisa untuk buruh setelah disahkannya RUU
ini. Perlawanan buruh melalui gugatan ke MK akan menjadi satu opsi untuk mengakomodasi
tujuh tuntutan buruh. Semoga nanti akan ada putusan MK yang membuat buruh mendapat
keadilan. Selain itu, sebenarnya masih ada beberapa peluang dengan merujuk tujuh tuntutan
buruh.
Tuntutan pertama, hilangnya upah minimum sektoral. Ini masih bisa diperjuangkan saat
penyusunan skala upah di tingkat perusahaan sebagaimana diamanatkan di UU ini. Atau diatur
saat penyusunan perjanjian kerja bersama (PKB). Buruh yang bekerja di sektor yang maju
(leading seetors) akan dapat tambahan renumerasi sesuai keuntungan yang dicapai perusahaan.
Memang hasilnya tak persis sama, tetapi setidaknya ada celah yang bisa dimanfaatkan.
Tuntutan kedua, menurunnya jumlah pesangon dari 32 menjadi 25 kali. Sebenarnya kalau
pesangon ini benar dilaksanakan, ini lebih baik ketimbang aturan lama di UU No 13/2003. Walau
disebut pesangon 32 kali gaji, hanya segelintir orang yang pernah menerimanya, bahkan banyak
yang tak mendapatkannya. Pemberian pesangon umumnya berakhir dengan kesepakatan akibat
hampir seluruh perusahaan dalam pembukuannya tak mencadangkan dana pesangon yang kelak
diberikan kepada pekerja yang ter-PHK. Serikat buruh perlu meminta agar dalam peraturan
pemerintah atau peraturan menteri ketenagakerjaan ada aturan pencadangan pesangon di
semua perusahaan.
Tuntutan ketiga, masalah pekerja kontrak yang berkepanjangan. Menghindari hal ini, serikat
buruh perlu memastikan agar dalam pengaturan turunannya, perusahaan dilarang melakukan
kontrak kerja di kegiatan core business dengan sanksi yang konkret.
Tuntutan keempat, pekerja alih daya (outsourcing) bisa ke semua jenis kegiatan. Dalam UU No
13/2003, ini memang dibatasi pada pekerjaan yang tak bersentuhan langsung dengan kegiatan
produksi. Ketentuan ini bisa dicegah dalam PKB atau dalam peraturan turunan lain. Atau
pengaturannya dikembalikan sesuai keputusan MK.
Tuntutan kelima, penggunaan tenaga kerja asing (TKA) tanpa izin. Dalam UU Cipta Kerja jelas
dibatasi. TKA hanya untuk keadaan darurat, tujuan vokasi, pekerja start-up, dan kunjungan
bisnis. Agar tak terjadi penyimpangan, Kemenakertrans dalam aturan turunannya mensyaratkan
adanya konsultasi dengan serikat pekerja dalam penggunaan TKA apabila melebihi jumlah
tertentu atau masa kerja melebihi tiga bulan.
Tuntutan keenam, omnibus law UU Cipta Kerja memungkinkan pembayaran upah satuan waktu
yang bisa jadi dasar pembayaran upah per jam. Ketentuan ini tak terlalu mengkhawatirkan
karena sifatnya hanya untuk pekerjaan
khusus. Masih ada ruang mengendalikannya di aturan turunan. Upah dengan satuan waktu
adalah hal biasa di banyak negara, untuk menampung pekerjaan spesifik, seperti pekerja di
restoran, pameran, pemandu wisata, dan interpreter bahasa. Upah mereka biasanya lebih tinggi
daripada upah minimum.
Tuntutan ketujuh, UU Cipta Kerja membolehkan perusahaan mem-PHK karyawan dengan alasan
efisiensi atau buruh mangkir. Padahal, MK telah memutuskan efisiensi hanya bisa dilakukan jika
perusahaan tutup permanen. Untuk ini, harus diperjuangkan agar keputusan MK itulah yang
harus diberlakukan.
70