Page 467 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 OKTOBER 2021
P. 467
Wawan merasakan puncak emosio nal sebagai penyandang disabilitas sewaktu tidak bekerja di
tahun 2018 silam. Terutama ketika ia sakit parah karena terserang penyakit malaria. Dokter
meminta dirinya istirahat total. Akibatnya, Wawan harus kehilangan pekerjaan karena fisik tak
kuat lagi menempuh perjalanan Sarolangun-Batanghari. Selama menjalani pemulihan akibat
serangan malaria, Wawan sempat membayangkan fisiknya normal dan bukan penyandang
disabilitas. Pekerjaan berat sekalipun, seperti kuli bangunan dan sebagainya, akan dilakukan
demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. "Mungkin itu titik nadir terendah saya ketika tak
punya pekerjaan selama sembilan bulan," ujarnya.
Setelah kesehatannya pulih, Wawan dan istri mencoba peruntungan dengan berkebun menanam
kangkung di tanah milik keluarga. Hasil tanam kangkung setiap dua pekan dijualnya ke pasar,
Namun karena minim pengetahuan sebagai petani membuat usa ha perkebunan kangkungnya
hanya bertahan sekali masa tanam. Di musim tanam kedua, pertumbuhan kang kungnya kerdil-
kerdil. Ia kemudian beralih menanam ubi. Tapi hasil panen ubi mem butuhkan waktu cukup
lama.
"Saya lalu beralih jualan pulsa dan token listrik. Saldo awal pengisian Rp1 juta hingga akhirnya
tinggal Rp300.000. Hidup kami bergantung dari hasil penjualan token listrik dengan ke untung
an Rp1.000 sekali jual," ujarnya.
Wakil Indonesia untuk Ko misi Hak Asasi Manusia (HAM) An tarpemerintah ASEAN (ASEAN
Intergo vernmental Commission on Human Rights), Yuyun Wahyuningrum, menye butkan dalam
ruang lingkup kete nagakerjaan, akses menjadi per masa lahan bagi penyandang disabilitas.
Menurutnya, belum ada kesadaran dari pemberi kerja untuk menyediakan kuota bagi
penyandang disabilitas. Akses terbagi menjadi tiga, yakni akses informasi terhadap pekerjaan,
akses fasilitas di dalam tempat kerja, dan akses kesempatan di dalam tempat kerja seperti
kenaikan jabatan.
Permasalahan tentang akses ini, Yuyun melanjutkan, dikarenakan upaya untuk menangani
persoalan dari penyandang disabilitas belum menjadi prioritas negara. Pemahaman mengenai
supporting system atau sistem pendu kung perlu ditekankan, baik untuk pemerintah, pemberi
pekerjaan, dan penyandang disabilitas itu sendiri. "Maka upaya yang dilakukan harus nya adalah
bagaimana menciptakan akses ke pekerjaan dan kondisi pe kerja an yang meminimalkan
disabilitas itu sendiri," ucap Yuyun melalui sambungan telepon kepada Alfiansyah Ramdhani dari
GATRA, Jumat pekan lalu.
Yuyun mengungkapkan, ku rangnya akses pendidikan bagi penyandang disabilitas memengaruhi
akses terha dap ketenagakerjaan. Kurangnya pen didikan yang dimiliki penyandang di sabilitas
membuat penyandang disabilitas tersebut tidak bisa memenuhi kua lifikasi dari penyedia
pekerjaan, yang kemudian berujung pada minimnya penyandang disabilitas bekerja di tempat
tersebut.
Padahal, Yuyun menambahkan, terdapat reasonable accommodation dan universal design dalam
Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRVD) yang ditetapkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Reasonable accommodation adalah bagai mana perusahaan menyediakan
alat kerja sesuai dengan penyandang disabi litas. Adapun universal design adalah penyediaan
fasilitas.
Menurut Yuyun, Indonesia belum bisa menyampaikan dengan baik terkait visi untuk kesetaraan
(equality), keadilan (equity), tantangan, dan cara merespons tantangan tersebut, se hingga
semua warga termasuk penyadang disabilitas bisa memiliki akses yang sama. Visi ini penting
untuk diterjemahkan ke dalam kebijakan di perusahaan. "Tujuannya untuk menca pai kesetaraan
466