Page 511 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 OKTOBER 2021
P. 511
nantinya akan melayani peserta dalam proses pengajuan klaim," ujar Eko kepada GATRA, Senin
lalu.
Anggoro merinci peran BPJS Ketenagakerjaan dalam program ini. Pihaknya berperan menjaring
perusahaan dan peserta yang layak menjadi peserta JKP. BPJS Ketenagakerjaan juga melakukan
verifikasi dan validasi data peserta yang berhak mendapatkan manfaat program Jaminan
Kehilangan Pekerjaan. Termasuk melaksanakan salah satu manfaat dari Program JKP yaitu
manfaat uang tunai. "Kita juga melakukan sosialisasi dan edukasi program JKP," ucapnya.
Menurut Anggoro, manfaat program JKP akan diberikan pertama kali kepada peserta yang
mengalami PHK mulai dari bulan Februari 2022 dan seterusnya. Sehingga untuk mereka yang
mengalami PHK sebelum Februari 2022, tidak bisa mendapatkan manfaat JKP. Kebijakan ini,
katanya, mengacu kepada syarat menerima manfaat yang harus dipenuhi peserta, yaitu iuran
program JKP selama 12 bulan dalam 24 bulan dan telah membayar iuran paling singkat enam
bulan berturut-turut. "Pekerja yang sudah di PHK sejak 2020 sam pai 2021, tidak mendapatkan
manfaat JKP, karena belum memenuhi syarat masa iuran," ia menerangkan.
Sekjen Organisasi Pekerja Indonesia (Opsi), Timboel Siregar, mengakui bahwa JKP bermanfaat
untuk memastikan daya beli ketika pekerja terkena PHK. Kendati demikian, ia tak menampik
bahwa ada sejumlah catatan penting terhadap program yang diatur dalam PP 37 tahun 2021 itu.
Pertama, persyaratan menjadi peserta dan mendapat manfaat.
Menjadi peserta, kata Timboel, relatif sulit. Pemerintah hanya fokus pada pekerja formal atau
penerima upah. Sementara dalam BPJS Ketenagakerjaan, ada golongan yang bukan penerima
upah (BPU) atau pekerja informal. Mereka sopir bajaj, pedangang, nelayan, dan lainnya. Belum
lagi golongan pekerja migran, dan pekerja jasa konstruksi.
Timboel mengungkapkan, peserta di BPJS Ketenagakerjaan ada empat segmen. Pekerja
penerima upah (PPU), bukan penerima upah (BPU), pe kerja migran Indonesia (PMI), dan jasa
kons truk si. "Akan tetapi dari empat itu, hanya satu yang difokuskan, dan itu yang berhak
menjadi peserta, yaitu penerima upah. Ini mendiskriminasi," katanya kepada GATRA. Pekerja
formal juga tidak otomatis lang sung mendapatkan JKP.
Menurut Timboel, masih ada persyaratan yang ha rus dipenuhi. Mereka harus mengiku ti Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), Ja minan Hari Tua (JHT), Jaminan Kema tian (JKM), Jaminan Kesehatan
Nasio nal (JKN), dan Jaminan Pensiun (JP).
Masalah berikutnya, dari sisi penerima manfaat. Timboel mengatakan, soal waktu pembayaran
iuran yang mencapai 12 bulan itu dianggap terlalu lama. Sebab ada pekerja yang sudah diputus
kontraknya atau di PHK sebelum pembayaran iuran itu selesai. Terlebih bagi mereka pekerja
dengan perjanjian waktu kerja tertentu (PKWT), yang sudah jatuh tempo bisa tidak dapat
manfaat.
"Jadi, dalam PP 37 itu PKWT yang jatuh tempo enggak dapat, walaupun tiap bulan bayar.
Makanya saya bilang, PP 37 ini bertentangan dengan UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasio nal)
dan Ciptaker. Siapa yang disebut peserta? Peserta adalah yang mendaftar dan membayar iuran,"
ia menguraikan.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan, Adi Mahfudz Wuhadji, menilai program JKP
dapat meringankan beban pengusaha. Sejauh memang tidak ada iuran tambahan untuk peserta.
Menurut Adi, adanya PP 37 Tahun 2021 sebagai bukti untuk menjamin pekerja yang di PHK,
mendapat manfaat uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. "JKP yang
prinsipnya seperti asuransi sosial ini harus di pstikan pengusaha tidak merasa terbebani bahkan
bisa meringankan pengusaha kalau tidak menambah iuran yang di maksud," katanya.
510