Page 50 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 3 NOVEMBER 2020
P. 50

berniat baik memayungi dan melindungi kaum buruh, mengapa para buruh, mahasiswa, tokoh
              masyarakat, dan akademisi menolaknya? Apa benar UU Cipta Kerja mengakomodasi kepentingan
              kaum buruh? Bagaimana sesungguhnya kepentingan dan perlindungan buruh tercantum dalam
              UU baru ini, bila dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan tahun 2003?

              Penulis mengamati berbagai narasi dan spanduk pada waktu buruh menuntut dan menolak UU
              Cipta Kerja. Ada lima pokok penting sebagai tuntutan mereka. Pertama, menolak penghapusan
              upah minimum sektoral (UMSK) dan perlakuan upah minimum kabupaten/kota bersyarat. Kedua,
              menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan upah. Pesangon 19
              bulan  upah  dibayar  oleh  pengusaha,  dan  sembilan  bulan  upah  oleh  BPJS  ketenagak-erjaa.
              Ketiga,  menolak  perjanjian  kerja  waktu  tertentu  (PKVVT)  yang  bisa  terus  dipeRp  anjang
              kontraknya seumur hidup. Keempat, menolak Jam kerja yang eksplotatif dan kelima menuntut
              kembali hak cuti dan hak upah atas cuti, termasuk cuti haid dan cuti Panjang.

              Komunikasi Politik.

              Menurut Azis Samsudin dari Fraksi Golkar, selama proses pembuatan draf UU, panitia kerja sudah
              menggelar  pertemuan  89  kali  dengan  perwakilan  masyarakat, tokoh  pendidikan,  pengusaha,
              buruh, dilakukan secara fisik dan virtual. Heran, kalau benar-benar komunikasi antara panita
              kerja dan berbagai kelompok sudah terjalin dan mendapat pengertian, mengapa UU Cipta Kerja
              harus ditolak? Publik juga semakin bingung ketika UU yang baru disetujui DPR menunjukkan tiga
              versi, yakni draf pertama terdiri atas 812 halaman adalah draf hasil pengetikan dan pengeditan
              oleh Sekretariat Jenderal DPR Kompas menerima draf kedua, jumlah 905 halaman dari pimpinan
              Badan  Legislasi  DPR,  Kemudian,  tanggal  12  Oktober  pagi,  Sekjen  DPR  Indra  Iskandar
              mengirimkan 1.035 halaman.

              Dari sudut pandang komunikasi politik, nampaknya DPR kurang menguasai bidangnya, tidak
              transparan,  dan  akuntabel  dalam  mempersiapkan  hasil  UU  Cipta  Kerja  yang  baru  mendapat
              persetujuan dan ketok palu di DPR. Bagaimana bisa muncul tiga draf UU, berbeda satu sama
              lain  dalam  kurun  waktu  satu  minggu?  Tidak  heran  kepercayaan  masyarakat  terhadap  DPR
              semakin tipis. Sesungguhnya komunikasi, merupakan usaha jitu untuk menjembatani berbagai
              kepentingan  mewujudkan  tujuan  bersama  (Muller  1973).  Dalam  proses  penyusunan  UU,
              selayaknya  komunikasi  efektif  dilakukan  untuk  mengakomodir  berbagai  pihak  melalui  dialog
              sebelum draft UU di finalisasi.

              Sejak bulan Maret, dengan meluasnya Covid-19 dan peraturan PSBB dilaksanakan,, kapasitas
              produksi  tidak  berjalan  normal,  jutaan  pekerja  kehilangan  penghasilan.  Impitan  ekonomi
              mendesak, perasaan kekhawatiran, dan ketidakpastian ikut meningkatkan rasa stres berbagai
              pihak.

              Frustrasi muncul, karena tidak mengetahui dengan pasti kapan bisa kembali ke kondisi normal.
              Dalam keadaan emergensi dan ketidakpastian, sewajarnya pemerintah/DPR menguasai psikologi
              massa,  bukan  memaksakan  jadwal  penyelesaian  UU,  tetapi  bisa  menunda,  mengerti  kondisi
              masyarakat banyak, menyerap dan memahami etika kemanusiaan. Emosi buruh karena PHK,
              ketidakpiawaian pemerintah menangani Covid-19 bercampur baur, mengakibatkan suasana tidak
              kondusif, hati dan perasaan membara bagaikan gunung api yang siap meletus.

              Di sinilah, pemerintah/DPR harus peka terhadap suasana lingkungan dan menjalin komunikasi
              efektif,  memberikan  pengertian,  edukasi  dan  pembelajaran.  Dengan  demikian,  perbedaan
              mencolok dalam UU Cipta Kerja yang dirasakan kaum buruh bisa diterima semua pihak. Justru
              saat  krisis  seperti  ini  kepemimpinan  DPR  diuji  keampuhannya  sebagai  wakil  rakyat.  Benar
              masalah Covid-19 belum tahu kapan akan berakhir, tetapi patut diwaspadai negosiasi/dialog
              merupakan  salah  satu  alat  ampuh,  untuk  mempertemukan  dua  kepentingan  yang  berbeda.
              Ketika titik keseimbangan sudah ketemu, inilah waktunya untuk ketok palu UU Cipta Kerja.


                                                           49
   45   46   47   48   49   50   51   52   53   54   55