Page 41 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 26 OKTOBER 2020
P. 41
persen per tahun. Lebih rendah dari dua periode 5 tahun sebelumnya. Pertumbuhan rata-
rata2005-2009dan 2010-2014 masing-masing 5,6 persen dan 5,8 persen per tahun.
Kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan Tax Amnesty (TA) yang berlaku Juli 2016 hingga
Maret 2017. TA memberi janji angin surga. Janji manis ditebar pemerintah dan pengikut
intelektualnya. Serta pengikut yang aktif di medsos. Propagandanya sangat militan. Sampai
mengancam bagi yang tidak ikut TA.
Janji manis TA sebagai berikut Pertama, TA akan membawa kembali uang penduduk Indonesia
yang disimpan di luar negeri. Nilainya fantastis, Rp4.000 triliun bahkan sampai Rpl 1.000 triliun.
Kedua, TAakan membuat pertumbuhan ekonomi meroket. Ketiga, TA membuat rasio penerimaan
pajak terhadap PDB naik drastis, dari 11 persen menjadi 14,6persen pada 2019.
Janji TA ternyata tidak terbukti. Pertumbuhan ekonomi hanya rata-rata 5 persen per tahun pada
2015-2019. Rasio penerimaan pajak 2019 malah turun menjadi 9,8 persen. Uangyang masuk
(repatriasi) dari luar negeri hanya Rp 146,6 triliun. Jauh di bawah nilai propaganda.
Yang menjadi "korban" TA adalah penduduk di dalam negeri. Nilai harta dalam negeri yang
dilaporkan Rp3.633,1 triliun. Padahal banyak harta ini diperoleh dari hasil kerja yang sudah bayar
pajak. Tetapi belum dilaporkan di SPT Tahunan yang memang sebelum tahun 2008 tidak
diwajibkan untuk itu. Sedangkan harta luar negeri yang dilaporkan terkait TA hanya Rp 1.180
triliun, jauh di bawah nilai propaganda.
Kebijakan PKE dan TA dapat dikatakan gagal. Tetapi, pelaku penggelapan pajak sudah terbebas
dari ancaman pidana penggelapan pajak. Pemerintah, dan DPR yang menyetujui TA, juga aman-
aman saja. Juga bebas dari segala konsekuensi akibat kegagalan dalam mengambil kebijakan
yang merugikan masyarakat luas dan menguntungkan segelintir orang saja.
Karena tidak ada sanksi atas kegagalan kebijakan ini. Karena tidak ada mekanisme pemberian
tanggung jawab kepala negara kepada rakyat. Akibat hak konstitusi rakyat sudah dirampok
dengan UUD "palsu". Sebelumnya, presiden Soekarno turun karena pertanggungjawabannya
tidak diterima MPR. Begitu juga presiden Habibie. Ooh betapa buniknyana-sib rakyat Indonesia
sekarang ini.
Setelah TA, kini giliran Omnibus Law Cipta Kerja dimainkan. Maksudnya dikenalkan ke publik.
RUU Cipta Kerjayangdiumpan pemerintah sudah disahkan DPR menjadi UU pada 5 Oktober 2020.
Pengesahan UU ini disambut gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat.
Seperti biasa, pro dan kontra saling sikut menyikut. Pihak kontra mengatakan UU ini sangat
merugikan masyarakat termasuk buruh, pekerja dan petani. Bahkan ada yang mengatakan UU
ini membuat sistem perbudakan di Indonesia aktif kembali. Tragis mendengarnya. Selain itu, 35
investor global menyuarakan kekhawatirannya terhadap potensi kerusakan lingkungan hidup.
Pemerintah tentu saja ada alasan mengapa begitu ngotot mau mengesahkan UU Cipta Kerja.
Alasannya klasik, sama seperti alasan TA Yaitu, untuk menarik investasi sebesar-besarnya.
Investasi asing maupun dalam negeri, untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
Benarkah propaganda ini? Benarkah UU Cipta Kerja akan meningkatkan investasi? Jangan-
jangan propaganda ini akan menjadi cek kosong belaka, seperti pada TA. Maksudnya, semua
janji manis hanya isapan jempol saja. Kalau ini sampai terjadi, apakah pemerintah dan DPR
berani bertanggung jawab karena sudah begitu ngotot mengesahkan UU tersebut, meskipun
diiringi protes dan korban jiwa? Misalnya, mengundurkan diri kalau gagal?
Masalah ekonomi yang lemah saat ini bukan karena UU. Karena dengan menggunakan UU yang
sama, pertumbuhan investasi pada periode 5 tahun sebelumnya (2010-2014) bisa lebih tinggi
40