Page 138 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 MARET 2021
P. 138
Kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak bukanlah hal baru, hal ini terjadi lama
namun mengalami peningkatan di masa pandemi.
Menurut Aliansi Perempuan Merangin, terdapat 41 kasus perkawinan anak dibawah umur (18
tahun) yang terjadi sejak tiga tahun terakhir. Perkawinan anak pada anak perempuan yang di
pedesaan diperkirakan akan semakin meningkat karena pembatasan layanan kesehatan
reproduksi dan kebijakan pembatasan sistem belajar.
Sementara itu, bagi korban Kekerasan dalam rumah tangga, anjuran untuk tetap di rumah dan
pembatasan layanan pengaduan Pemerintah merupakan mimpi buruk yang tidak tahu kapan
berakhirnya, "Menjebak mereka di rumah bersama pelaku kekerasan seksual, terisolasi dari
orang-orang dan sumber daya yang dapat membantu mereka karena pembatasan layanan
pengaduan Pemerintah," sambungnya.
Akses terhadap keadilan bagi korban kekerasan pun semakin jauh dari harapan.
Beranda Perempuan sejak tahun 2015 mendampingi 9 kasus kekerasan terhadap perempuan
dengan jumlah korban 25 orang, tiga di antara kasus tersebut tidak mendapatkan keadilan,
karena aparat penegak hukum tidak memiliki perspektif perlindungan anak dan perempuan.
Akses keadilan bagi korban juga dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang dimiliki
oleh Indonesia saat ini.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) mendefinisikan kekerasan seksual terhadap
perempuan sebatas pada penetrasi alat kelamin. Selain itu, KUHAP juga tidak memberikan
pengaturan mengenai hak pemulihan korban selama proses hukum.
Kekerasan seksual bahkan terjadi di dalam kampus.
Berdasarkan hasil survey dan wawancara mendalam dengan pelaku dan korban kekerasan
seksual di 4 (empat) kampus di Jambi ditemukan bahwa sekitar 73,21 persen pelaku melakukan
tindakan pelecehan seksual melalui gambar dan pesan bernada seksual terhadap mahasiswi.
Kekerasan paling besar dilakukan oleh teman laki-laki, di susul oleh pacar dan oknum dosen
sekitar 3,6 persen.
Sedangkan 4 persen mahasiswi pernah mendapatkan pemaksaaan dan intimidasi seksual dari
oknum dosen.
"Tentu jumlah ini jauh lebih sedikit jika dibandingkan fakta sebenarnya karena masih banyak
korban yang belum berani bersuara dan melaporkan kasusnya karena kampus belum menjamin
kemerdekaan dan keamanan bagi korban untuk berani bersuara dan melaporkan kasusnya,"
terang ia.
Melalui penyebaran kuisioner diketahui bahwa sebanyak 71,2 persen responden mengaku bahwa
kampus belum menyediakan kampus yang aman bagi perempuan, seperti belum adanya toilet
yang aman, penerangan yang cukup atau belum didukung SOP tentang pencegahan dan
penanganan kekerasan seksual.
"Perempuan jurnalis pun kerap menjadi sasaran kekerasan seksual ketika sedang bekerja.
Perusahaan media tidak memiliki SOP yang menjamin perempuan jurnalis aman dari tindakan
kekerasan seksual, melaporkan tindakan kekerasan seksual yang dialaminya dan memastikan
perusahaan media dan lembaga terkait lainnya melakukan proses terhadap laporan tersebut"
tegas ia.
Di tengah itu semua, terdapat kelompok perempuan disabilitas yang juga harus mengalami
persoalan yang berlipat dimasa pandemi.
137