Page 132 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 OKTOBER 2020
P. 132
Ketentuannya adalah uang pesangon (UP) maksimal 9 kali upah, tergantung masa kerja (ayat
2); uang penghargaan masa kerja (UPMK) maksimal 10 kali upah, tergantung masa kerja (ayat
3), dan uang penggantian hak (UPH) seperti cuti tahunan tetap berlaku (ayat 4). Kecuali uang
penggantian hak kesehatan dan perumahan dengan faktor 15% upah dihapus karena dianggap
sudah tertutupi dari BPJS Kesehatan dan Tapera. Bahkan UU Cipta Kerja pun menambahkan
adanya Jaminan kehilangan pekerjaan (JKP), skema baru berdasarkan prinsip asuransi sosial
yang tidak mengurangi manfaat dari jaminan sosial lainnya dan tidak menambah beban bagi
pekerja/buruh, kabarnya sebesar 6 kali upah.
Bila pesangon diartikan uang yang diberikan sebagai bekal kepada pekerja saat diberhentikan
dari pekerjaan atas alasan apapun, skema pesangon maksimal adalah 19 kali upah (UP ditambah
UPMK) ditambah 6 kali upah (JKP), sehingga menjadi 25 kali upah. Memang angka ini lebih
rendah dibandingkan UU Ketenagakerjaan sebesar maksimal 32,2 kali upah. Namun besaran
pesangon itu akan diatur secara teknis dalam peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan dari
UU Cipta Kerja. Bukan tidak mungkin PP akan mengatur uang pesangon untuk jenis PHK tertentu
menjadi 2 kali UP, sehingga totalnya menjadi 28 kali upah (2xUP + lxUPMK). Kenapa tidak? Jadi
bila dicermati, soal pesangon semestinya tidak masalah di UU Cipta Kerja.
Menariknya, Pasal 154A menyebutkan PHK dapat dilakukan perusahaan atas 14 alasan. Patut
diduga, alasan-alasan ini bisa jadi sumber ketakutan pekerja, karena ruang terjadinya PHK
sepihak lebih besar. Jadi, pemerintah harus ekstra hati-hati memonitor PHK yang dilakukan
perusahaan agar tidak semena-mena
Syarifudin Yunus Direktur Eksekutif Perkumpulan DPLK
kepada pekerja. Apakah PHK akibat alasan-alasan tersebut pekerja tidak mendapatkan uang
pesangon? Sementara itu, Pasal 167 UU Ketenagakerjaan yang mengaitkan program pensiun
dengan pesangon nyata-nyata dihapus di UU Cipta Kerja. Bukan berarti pekerja/buruh tidak akan
mendapatkan pesangon akibat PHK tetapi besaran pesangonnya akan diatur dalam PP sesuai
Pasal 156 ayat (5) UU Cipta Kerja.
Jadi, soal pesangon di UU Cipta Kerja kata kuncinya terletak di PP yang mengatur hal-hal teknis,
termasuk tata cara PHK dan besaran kompensasi PHK. Oleh karena itu, penyusunan PP atau
peraturan Presiden (Perpres) terkait UU Cipta Kerja harus dikawal ketat dan membuka ruang
masukan publik agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Bila perlu PP/Perpres pun
mengatur program pensiun yang ada kaitannya dengan pesangon (seperti pada Pasal 167 UU
Ketenagakerjaan), khususnya pengaturan ketentuan offset terhadap program pensiun sukarela
yang dimiliki perusahaan dapat dikompensasikan sebagai kewajiban pesangon untuk semua
alasan PHK dan bukan cuma pensiun saja.
Aturan pesangon untuk pekerja atau buruh sesungguhnya bukan hal baru. UU Cipta Kerja pun
hanya merevisi UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalihnya, aturan dan besaran
pesangon yang lama dianggap memberatkan pengusaha, sehingga investor tidak mau investasi
di Indonesia karena tingginya beban biaya perusahaan. Alasan yang dapat diterima walau tidak
sepenuhnya benar. Faktanya, saat besaran pesangon diatur 32,2 kali upah (UU
Ketenagakerjaan), implementasinya hanya 7% perusahaan yang mematuhi ketentuan, sehingga
pekerja kerap bereaksi soal pesangon.
Pada naskah sosialisasi UU Cipta Kerja yang beredar versi Kemenaker dan DPR tercantum paling
atas kalimat 'Pemerintah memastikan bahwa pesangon betul-betul menjadi hak dan dapat
diterima oleh pekerja/buruh'. Artinya, pemerintah berkomitmen memastikan pembayaran
pesangon kepada pekerja betul-betul sesuai aturan. Perusahaan tidak boleh abai terhadap
pesangon yang menjadi hak pekerja saat melakukan PHK. Nyatanya, selama ini masalah
pesangon adalah soal ketersediaan dana, sehingga PP yang akan disusun semestinya mengatur
tentang pendanaan pesangon oleh perusahaan.
131

