Page 466 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 OKTOBER 2020
P. 466
Di masa pandemi yang semua serba sulit dan menghimpit , sebuah regulasi baru telah
disahkan. Judulnya beken; omnibus law. Sebagaimana yang kita pahami, istilah omnibus law ini,
pada dasarnya bukanlah istilah hukum populer bagi mazhab hukum kita yang menganut mazhab
eropa kontinental. Sebab dalam sejarahnya, istilah ini lebih dikenal oleh negara yang
menerapkan mazhab hukum anglo saxon . Melalui UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, struktur dan hierarki di dalam tata perundang-
undangan kita juga sudah diatur dengan amat sangat jelas dan rigid, namun, tiba-tiba wacana
omnibus law ini menggelinding liar. Sehingga, sifat dari omnibus law ini yang mencoba untuk
menjadi payung besar bersama, terhadap beberapa UU yang dianggap saling bertolak belakang
dan saling menegasikan , akan disinergisasi dan diharmonikan melalui UU ini. Namun, dalam
bahasa pasarnya, UU ini adalah UU sapu jagat.
Salah satu manuver Presiden adalah UU Cipta Kerja. Prinsipnya, dengan adanya UU ini, Presiden
mencoba ingin menjembatani antara kehendak investor asing, dan kehendak pertumbuhan
ekonomi dari Beliau tadi. Dalam kacamata beliau, sepertinya keengganan investor asing masuk
ke indonesia dan menanamkan modalnya, ditenggarai karena proses regulasi, izin birokrasi,
dan proses produksi, distribusi di negara kita ini tidak pasti dan tidak ramah investor.
Apalagi kita mendapatkan Info Bank Dunia kepada Presiden Jokowi terkait 33 perusahaan China
yang hengkang dari negaranya, dan ternyata sebagian besar lebih memilih berinvestasi di
negara-negara ASEAN lain ketimbang Indonesia, membuka selubung gelap betapa ruwetnya
upaya membangun iklim investasi yang menarik. Dari 33 perusahaan,l 23 perusahaan memilih
Vietnam dan 10 lainnya memlih Malaysia, Thailand dan Kamboja.
Kepentingan Ekonomi Semata Pengesahan RUU Cipta Kerja pada beberapa waktu yang lalu,
berujung panas. Ada dua fraksi, Fraksi Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, yang
menolak pengesahan tersebut. Yang lainnya, menyetujui dengan bulat.
Persetujuan DPR, inisiasi Pemerintah yang spartan mendorong agar produk legislasi tersebut
bisa terus-menerus dibahas dan pada akhirnya disahkan, pada dasarnya merupakan hasil dari
konfigurasi politik kita yang buram dan durjana .
Bergabungnya oposisi besar, Gerindra, dan dilantiknya Prabowo, menjadi Menteri Pertahanan,
yang awalnya direpresentasikan sebagai ikon oposisi utama di republik ini, praktis
melumpuhkkan oposisi politik di parlemen.
Hanya menyisakan demokrat, yang terkadang mengambil sikap ambigu, dan PKS yang seperti
terisolir dengan manuver-manuvernya sendiri. Lengkap sudah penderitaan rakyat.
Munculnya gelombang demonstrasi, mulai dari elemen buruh, pemuda, dan mahasiswa yang
secara tegas menolak pengesahan UU Cipta Kerja tersebut tentu menjadi sebuah alarm darurat
bagi Pemerintahan Jokowi.
Rupanya, meskipun pengendalian terhadap parlemen sudah di dalam genggaman tangan, dan
dibuktikan melalui terwujudnya pengesahan mengenai beberapa UU yang kontroversial seperti
UU KPK, Perppu Covid-19, hingga UU Cipta Kerja, namun, moralitas kelompok buruh, pemuda,
dan mahasiswa yang merasakan imbas negatif dari adanya UU Cipta Kerja, menunjukkan bahwa
pengendalian politik yang amat sempurna oleh Presiden Jokowi, masih belum cukup.
Produk hukum UU Cipta Kerja ini seperti seorang anak yang tidak diinginkan kelahirannya oleh
rakyat, namun justru dinanti-nantikan kehadiran dan tumbuh-kembangnya oleh para elit politik
dan pejabat negara.
Hal seperti ini seperti mengingatkan kita dengan teori hukum yang ditulis oleh Philipe Nonet
dan Phillip Selznick di dalam bukunya, 1978. "Law and Society in Transition : Toward
465