Page 467 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 OKTOBER 2020
P. 467
Responsive Law". Produk legislasi lebih mencerminkan kemauan penguasa daripada kehendak
rakyat.
Kekuasaan dan hukum, praktis menjadi dua entitas yang menjalin diri dengan sangat menyatu
--di mana hukum dibuat dan disahkan oleh kesadaran kekuasaan sebagai anak sulung-- yang
senantiasa berusaha menerobos ke celah-celah yang mudah direkayasa sehingga hukum lebih
dirasakan sebagai alat penguasa, ketimbang sebagai kontrol kekuasaan.
Sebab dalam UU Cipta Kerja, menurut Eros Djarot--seorang budayawan indonesia, dalam
artikelnya yang berjudul "DPR & Istana Tabuh Genderang Perang", lebih banyak pasal
yang dinilai hanya menguntungkan para pemilik modal, termasuk dan utamanya modal asing.
Secara umum Undang-Undang Cipta Kerja sepenuhnya berangkat dari kepentingan ekonomi an
sich (semata). Tanpa menempatkan kepentingan buruh atas nama kemanusiaan, dan masalah
lingkungan yang didegradasi sebagai hal yang menjadi tidak dianggap penting dan strategis lagi.
Hukum yang Represif? Agenda Sidang Paripurna DPR dalam rangka mengesahkan UU Cipta
Kerja yang semula diketahui umum akan dilangsungkan pada 8 Oktober 2020 mendatang, secara
mendadak sontak palu pengesahan diketuk pada malam hari 5 Oktober 2020. Maka UU Cipta
Kerja pun sah lah kini.
Pihak yang tak patuh untuk mengikuti setiap aturan pada pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja ini,
dengan sendirinya sah untuk dinyatakan sebagai tindakan melawan hukum.
Sanksi hukum pun dibenarkan untuk dijatuhkan pada si pelaku.
Menurut Nonet dan Selznick , Tentang sebab terjadinya produksi hukum yang tidak
demokratis, diduga selain macetnya kontrol publik ( ekstemal ) balk pers maupun lembaga-
lembaga kontrol lainnya, terdapat sejumlah faktor penentu dalam sistem produksi hukum yang
memang tidak demokratis.
Pertama, Pemerintahan Jokowi hari ini terlalu kuat secara politik, sebab, keberhasilannya di
dalam menggandeng Gerindra dan PAN, praktis membuat setiap agenda politik Pemerintah yang
memerlukan persetujuan Parlemen, akan dengan mudah disepakati secara mayoritas.
Kedua, Pemerintahan kali ini juga dibekali dengan beberapa perangkat hukum yang justru pada
dasarnya membuat mereka menjadi lebih dominan, salah satunya adalah UU ITE, yang pada
beberapa kasus tertentu, membuat gerakan sipil seperti jera guna melancarkan kritisismenya .
Ketiga, sebagai akibatnya, pembahasan RUU di DPR pun lebih sering berkutat pada persoalan
redakslonal dengan kurang menggugat substansi apalagi semangat di balik paket RUU itu.
Selanjutnya, menurut S. Brodjo Soedjono (2000), dalam tulisannya yang berjudul "Hukum
Represif dan Sistem Produksi Hukum yang Tidak Demokratis", proses legalisasi kekuasaan
penguasa tersebut menjadi serba meliputi ( embracing ), ketika mesin administrasi
pemerintahan, alhasil, bukan saja terjadi inflasi kebijakan publik yang sarat KKN, tetapi juga
hakikat pemerintah sebagai pelaksana kehendak rakyat--yang idealnya setiap saat siap
mempertanggungjawabkan segala kebijakan--dengan mudah berbalik sebagai penguasa yang
mendikte rakyat.' Oleh karena itu, kerap kali apa yang disebut hukum, bukan berisi tentang apa
yang dipandang perlu oleh rakyat untuk diatur, melainkan apa yang menurut pemerintah perlu
untuk mengatur, bahkan menekan rakyat.
Karenanya, perjuangan guna mencabut UU Cipta Kerja, akan berlangsung panjang dan dipenuhi
tantangan, dan salah satu cara guna melawan UU Cipta Kerja ini bisa dengan cara melakukan
proses uji judicial review kepada Mahkamah Konstitusi mengenai UU ini, atau mungkin
dikarenakan determinasi rakyat yang terus-menerus menekan Pemerintah, dan melakukan
466