Page 114 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 OKTOBER 2020
P. 114
PEKERJA KONTRAK KIAN TAK BERANI BERMIMPI
Unjuk rasa perihal Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja disikapi pemerintah dengan
menyarankan masyarakat yang tidak setuju untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah
Konstitusi. Pemerintah, melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, aktif
menerbitkan bahan grafis tentang RUU yang dikebut pembahasannya di masa pandemi Covid-
19 itu.
Grafis kluster ketenagakerjaan, misalnya, ditayangkan di laman ekon.go.id pada Rabu
(7/10/2020) pukul 09.50 WIB Grafis, antara lain, menyebutkan "pelaksanaan perjanjian kerja
waktu tertentu (PKWT) tetap ada batas waktunya berdasarkan kesepakatan pengusaha dan
pekerja".
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jelas menyebutkan, PKWT
hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun.
Sementara RUU Cipta Kerja mereduksi Pasal 59 Ayat 1 Huruf b UU No 13/2003 menjadi pekerjaan
yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Batas waktu tiga tahun itu yang dipersoalkan pekerja dan serikat buruh. Sementara paparan di
laman Kemenko Perekonomian me n aras ikan PWKT tetap ada.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan, di berbagai
negara, pekerja alih daya lazim dibatasi jenis pekerjaannya agar tidak terjadi perbudakan
modern. "Ketika alih daya dibebaskan, tidak ada keamanan pekerjaan bagi buruh Indonesia,"
katanya, Sabtu (10/10/2020).
Perihal PKWT, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah pada Rabu (7/10) dan Kamis (8/10)
mengatakan, pemerintah tetap memberi perlindungan tambahan berupa kompensasi saat
kontrak kerja berakhir. Namun, Ida tidak menjelaskan inti persoalan terkait berapa lama jangka
waktu pekerja kontrak yang akan diatur di rancangan peraturan pemerintah.
Adapun tentang pekerja alih daya, menurut Ida Fauziyah, syarat dan ketentuannya akan tetap
dipertahankan. Namun, Ida tidak mengklarifikasi inti persoalan perihal penghapusan batasan
jenis pekerjaan untuk pekerja alih daya, yang sebelumnya diatur di dalam Pasal 65 UU
Ketenagakerjaan.
Tak muluk-muluk
Sebagai karyawan kontrak, Jajang Diman (38) tak berani bermimpi muluk-muluk. Kontraknya
sebagai petugas penyedia jasa lainnya orang perorangan (PJLP) Dinas Pertamanan dan Hutan
Kota DKI Jakarta diperbarui setiap tahun. Gaji Rp 4,2 juta per bulan habis untuk membiayai
hidup keluarganya. Bersama istri dan dua anaknya, Jajang tinggal di rumah kontrakan bertarif
Rp 500.000 per bulan di kawasan Cakung, Jakarta Timur.
"Kalau ada utang di bulan sebelumnya, lunasin utang dulu. Kalaupun ada sisa, paling Rp 200.000
per bulan, itu pun tidak selalu bisa setiap bulan ada sisa," kata Jajang, yang dijumpai di Jalan
Gatot Subroto, Jakarta, Sabtu (10/10) siang.
Jajang mesti memastikan kinerjanya bagus agar kontraknya diperpanjang. Namun, posisi
sebagai pekerja kontrak membuatnya tak berani ber-cita-cita membeli rumah secara mencicil.
"Kalau kontrak tidak diperpanjang, nanti bayarnya bagaimana," katanya.
Nasib Budi Setiawan (30), pekerja kontrak di bank swasta, dan istrinya, pekerja kontrak di
perusahaan asuransi, lebih baik. Mereka bisa menyisihkan Rp 5 juta per bulan untuk ditabung
113