Page 603 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 OKTOBER 2020
P. 603

tentang penghapusan upah minimum karena Pasal 88 huruf c, d dan e sudah mengatur terkait
              hal tersebut.
              Adanya  analisa-analisa  tak  valid  bertopeng  hukum  serta  bergolaknya  penolakan  masyarakat
              terhadap  RUU  ini  bukanlah  tanpa  sebab.  Jika  kita  melihat  ke  belakang  pada  tahap  awal
              pembahasan RUU ini, terjadi adanya kejanggalan formil di sektor Parlemen yang berakibat fatal.
              Mengapa?  Karena  dalam  proses  pembahasan  RUU  tersebut,  partisipasi  publik  tidak
              diikutsertakan.  Padahal  partisipasi  publik  telah  dijamin  oleh  Konstitusi  dan  Undang-undang
              disetiap pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Kosongnya partisipasi publik inilah yang
              menempatkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja termasuk dalam kategori cacat formil. Itu bukanlah
              representasi kepastian hukum.

              Mulai  dari  pembahasan  RUU  secara  senyap,  beredarnya  analisa-analisa  hukum  palsu  di
              masyarakat, draft RUU disahkan dalam keadaan cacat formil, lambatnya respon sosialisasi dari
              Pemerintah hingga masyarakat yang enggan membaca 905 halaman dari draft RUU tersebut,
              mengakibatkan bola hanya bergulir di tengah lapangan tanpa tujuan. Seperti saat ini.

              Sehingga, menjadi hal wajar apabila masyarakat lebih percaya pada analisa-analisa hukum palsu
              yang  dibuat  ringkas  dan  seolah  mewakili  keluh  kesah  amarah  masyarakat.  Seandainya,
              Pemerintah sedari awal penyusunan RUU ini mengikutsertakan publik dalam pembahasannya,
              maka  antipati  masyarakat  tidak  akan  terbentuk.  Masyarakat  bisa  lebih  tenang  dan  cerdas
              menghadapi situasi dan tidak mudah tersulut keadaan.
              Kedaulatan  rakyat  dan  negara  hukum  adalah  amanat  konstitusi.  'Rakyat  Indonesia'  adalah
              pemegang kedaulatan sebenarnya. Tetapi bagaimana bisa dikatakan berdaulat, jika dalam hal
              pembuatan hukum, partisipasi rakyatnya dibungkam. Pemikirannya dianggap ancaman. Dalam
              hal ini, rakyat seolah dianggap sebagai sumber daya mati. Bukan sumber daya manusia yang
              nyata dan utuh dimana hak-haknya dijamin penuh secara konstitusional.

              RUU Omnibus Law Cipta Kerja, nyatanya hanyalah slogan kepastian hukum yang kering akan
              dimensi etis dan politis. Dibuat secara senyap, dibarengi dengan melubernya informasi tidak valid
              yang terlanjur ditelan mentah-mentah oleh masyarakat hingga berakibat munculnya mosi tidak
              percaya.  Hingga  berakhir  dengan  stigma  buruk,  bahwa  RUU  ini  bersifat  melanggengkan
              kekuasaan  yang  positivitis,  mengorbankan kemerdekaan  individual dan mencederai  keadilan.
              Akhir kata, sekali lagi saya tegaskan, 'RUU Omnibus Law Cipta Kerja bukan representasi dari
              kepastian  hukum'.  Tabik.(    Referensi    E.Fernando  M.  Manullang,  Legisme,  Legalitas  dan
              Kepastian  Hukum,  PT  Fajar  Interpratama  Mandiri,  Jakarta  2016    Widodo  Dwi  Putro,  Kritik
              Terhadap  Paradigma  Positivisme  Hukum,  Genta  Publishings,  Yogyakarta,  2011    Maria  Farida
              Indrati  Soeprapto,  Ilmu  Perundang-undangan;  Dasar-Dasar  dan  Pembentukannya,  Penerbit
              Kanisius, Yogyakarta, 1998  John Rawls, Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge,
              1999  Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta,
              1999  Sidang Rakyat  Omnibus Law  Cinta Tak Berbalas  1602212282665433131   0  0  2020 (c)
              PT Dynamo Media Network  Version 1.1.294.

















                                                           602
   598   599   600   601   602   603   604   605   606   607   608