Page 330 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 19 OKTOBER 2020
P. 330
RUU ini disusun untuk menyelesaikan berbagai hambatan investasi yang akhirnya menghambat
penciptaan lapangan kerja . Apalagi, saat pandemi ini, masalah ketenagakerjaan bertambah.
Seharusnya angka pengangguran tahun ini turun. Namun, karena Covid-19, potensi penganggur
menjadi 12 juta-13 juta orang. Ada 3,5 juta orang yang sampai sekarang di-PHK dan
dirumahkan, ada 6,9 juta penganggur, dan 2,4 juta-3 juta orang angkatan kerja baru.
RUU ini mendukung penciptaan ekonomi nasional yang kondusif bagi perluasan kesempatan
kerja yang berkualitas. Dari 15 kawasan ekonomi khusus yang kita bangun, setidaknya ada 1,2
juta orang dapat terserap. Saat ini juga banyak relokasi investasi dari China, Jepang, dan Korea
Selatan ke Indonesia. Ini peluang.
Investasi yang mengantre masuk itu padat karya atau padat modal?
Sebenarnya kita prioritaskan industri padat karya. Harapannya bisa menyerap lebih banyak orang
dalam waktu cepat. Kita juga butuh industri padat karya karena tingkat pendidikan dan
keterampilan tenaga kerja masih rendah. Kita perlu industri yang tidak mensyaratkan
keterampilan terlalu tinggi.
Beberapa perusahaan yang akan relokasi rata-rata padat karya. Harapannya, mereka bisa
melihat bahwa lewat RUU Cipta Kerja, iklim berusaha diperbaiki, perizinan dipermudah, dan
dalam waktu bersamaan kita juga sedang berusaha meningkatkan kompetensi tenaga kerja kita.
Dalam RUU Cipta Kerja, belum tampak upaya afirmatif untuk menyiapkan daya saing dan
kompetensi tenaga kerja. Bagaimana menjawab tantangan itu?
Kita memang ingin investasi lancar, tetapi di sisi lain kita harus menyiapkan tenaga kerja yang
komposisinya sekarang lebih banyak low skill. Caranya, lewat pelatihan vokasi. Kalau tak ada
Covid-19, sebenarnya itu, menurut rencana, dijawab lewat program Kartu Prakerja.
Persoalan ini tidak diatur di RUU Cipta Kerja karena prinsip umumnya, UU No 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan tetap berlaku. Di UU itu, pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan
pengembangan kompetensi pekerjanya lewat pelatihan. Sementara di RUU ini, ada manfaat baru
jaminan kehilangan pekerjaan (JKP). Pesangon dibayar jadi maksimal 25 kali upah (sebelumnya
maksimal 32 kali upah, tergantung masa kerja) dengan 6 kalinya dibayar lewat JKP
Filosofi pesangon itu, pekerja punya bekal untuk bertahan mencari pekerjaan baru. Jangan pikir
kalau manfaatnya bukan uang tunai, tidak ada perlindungan. Justru nilai perlindungan itu ada di
pelatihan vokasi untuk peningkatan keterampilan dan memiliki keterampilan baru. Itu menjadi
bagian manfaat JKP.
Salah satu isu yang banyak disoroti adalah ketentuan pekerja kontrak atau PKWT. Kenapa
pemerintah tak tegas memasukkan batas waktu kontrak di RUU ini seperti di UU
Ketenagakerjaan?
Kita belajar dari beberapa negara. Jika hal itu diatur di undang-undang, tidak akan ada
fleksibilitas pengaturan. Persoalan ini tidak sederhana ketika dinamika tenaga kerja tinggi. Kami
sudah sepakat bersama teman-teman di forum tripartit (pemerintah, pengusaha, dan buruh),
hal ini akan dibicarakan dalam perumusan peraturan pemerintah (PP). Jadi, tidak diisi sendiri
oleh pemerintah.
Di PP nanti akan diatur tegas batasan waktunya?
Bisa saja lebih dari lima tahun. Bisa kurang. Dinamikanya sangat tinggi. Kalau langsung diatur di
undang-undang, kami khawatir justru tidak bisa mengikuti dinamika tersebut.
329