Page 168 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 22 OKTOBER 2020
P. 168
Ia mengatakan, Jokowi di periode keduanya ini memang tanpa beban dan acapkali
mengeluarkan kebijakan yang menuai polemik. Namun, ia berharap pemerintah dalam
melaksanakan kebijakan tetap sesuai koridor hukum.
"Boleh saja berbeda warna di periode kedua, akan tetapi tetap saja harus mengutamakan
kepentingan Merah-Putih yang kita cintai," ujar anggota Komisi III DPR itu.
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera juga melihat pemerintahan Joko
Widodo-Ma'ruf Amin tak maksimal dalam satu tahun pertamanya. Ia menilai penanganan
pandemi saat ini merupakan cerminan Jokowi yang tak mampu memahami krisis yang tengah
terjadi. Terbukti dari kemarahannya saat mengevaluasi kinerja para menterinya beberapa bulan
lalu.
"Kemarahan Pak Jokowi sebenarnya menunjukkan ketidakmampuannya memahami krisis secara
utuh dan mendasar," ujar Mardani saat dihubungi.
Hingga saat ini, penanganan Covid-19 di Indonesia jauh dari kata memuaskan. Angka kasus
positifnya terus meningkat, padahal anggaran kesehatan telah ditingkatkan dan diprioritaskan.
"Sayangnya Kemenkes tidak mengambil peran utama, mestinya jaringan Puskesmas diperkuat
kualitas dan kuantitasnya. Target satu desa satu puskesmas masih jauh dari harapan," ujar
Mardani.
Kementerian Dalam Negeri juga dinilai gagal dalam mengatur lonjakan kasus Covid-19 di
berbagai daerah. Justru, hal yang terjadi ada banyaknya satuan tugas yang tugas dan fungsinya
tak terlalu jelas.
Penegakan hukum juga dinilainya menunjukkan kondisi yang jauh dari harapan. Peranan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga hanya fokus pada masalah di internal, bukan penanganan
kasus korupsi.
"Belum lagi skandal Omnibus Law yang memicu reaksi publik hingga hari ini. Jurang resesi yang
kita alami membuat masyarakat kian sulit, rencana jaring keselamatan publik dengan bansos
dans embako belum mampu menjaga kebutuhan minimal publik," ujar Wakil Ketua Badan Kerja
Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR itu.
Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS, Anis Byarwati, menyoroti jumlah utang luar negeri
Republik Indonesia yang meningkat tinggi di masa pemerintahan Jokowi ini. Posisi utang
Indonesia per Juli 2020 telah menyentuh Rp 5.434,86 triliun. Utang tersebut terdiri dari SBN Rp
4.596,6 triliun, pinjaman Rp 10,53 triliun, dan ULN Rp 828,07 triliun. Rasio utang terhadap PDB
telah naik menjadi 34,53 persen dari sebelumnya 33,63 persen pada Juli 2020. Untuk tahun ini,
bunga utang Indonesia telah mencapai Rp 338,8 triliun atau setara 17 persen dari APBN 2020.
"Angka ini telah melewati batas aman yang direkomendasikan IMF, yakni 10 persen," kata Anis
melalui pesan yang diterima Republika.co.id, Rabu (21/10).
Laporan Bank Dunia (World Bank) memuat tentang statistik utang internasional (International
Debt Statistics) 2021 yang berisi negara low-middle income dengan jumlah utang luar negeri
terbesar di dunia. Negara dengan utang terbesar di 2019 adalah China, di mana jumlahnya
sebesar 2,1 triliun dolar AS. Indonesia masuk ke dalam laporan itu, berada di posisi ke-7 dengan
jumlah utang 402,08 miliar dolar AS atau senilai Rp 5.900 triliun. Laporan itu juga menyebutkan
posisi utang luar negeri RI terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2017 utang RI senilai 353,56
miliar dolar AS, tahun 2018 379,58 miliar dolar AS dan tahun 2019 402,08 miliar dolar AS.
Anis mengatakan, terlepas dari catatan World Bank itu, Pemerintah harus berhati-hati dalam
menetapkan utang luar negeri (ULN). Ia mengingatkan, berdasarkan data APBN edisi Agustus
167