Page 221 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 28 DESEMBER 2020
P. 221

migran  terlantar,  sehingga  mengakibatkan  85  buruh  migran  meninggal  dunia  dan  ribuan
              deportan lainnya mengalami sakit.
              Hal tersebut terjadi, karena ketidaksiapan Pemerintah Indonesia dalam merespon pemberlakuan
              Akta Imigresen 1154/2000 oleh Malaysia. Perlu diingat bahwa pada saat itu. belum ada peraturan
              perundang-undangan  Indonesia  setingkat  undang-undang  (UU)  atau  peraturan  lainnya  yang
              secara spesifik mengatur dan melindungi buruh migran. Karenanya, pada tahun 2003, Munir Cs
              melakukan  terobosan  hukum  dengan  mengajukan  gugatan  warga  negara  (citizen  lawsuit)
              dengan  dalil  pokok  bahwa  Pemerintah  Indonesia  telah  melakukan  pembiaran  atas  TKI  yang
              dideportasi  dari  Malaysia,  dan  menuntut  pemerintah  mengeluarkan  kebijakan  peraturan
              perundang-undangan.

              Gugatan tersebut dikabulkan, dan untuk itu Pemerintah dan DPR mengeluarkan UU 39 Tahun
              2004  tentang  PPTKLN.  UU  tesebut  disusun  secara  terburu-buru,  sehingga  beberapa  tahun
              kemudian kelompok masyarakyat sipil menilai bahwa UU tersebut perlu direvisi karena peran
              Pemerintah  dalam  melindungi  pekerja  migran  tidak  jelas;  mekanisme  pertanggungjawaban
              majikan tidak ada; dan tidak dijaminnya hak cuti, hak berkomunikasi, dan hak berserikat.
              Setelah mengalami proses panjang, akhirnya UU tersebut dicabut dan digantikan dengan UU 18
              Tahun 2017 tentang PPMI (Pelindungan Pekerja Migran Indonesia). UU PPMI banyak mengubah
              paradigma perlindungan buruh migran dibandingkan dengan UU sebelumnya. Pelu dicatat bahwa
              UU PPMI merupakan hasil advokasi bertahun-tahun yang dilakukan oleh kelompok masyarakyat
              sipil dan serikat yang bergerak pada isu buruh migran. Hal ini tercatat jelas dalam buku "Gerakan
              Advokasi Legislasi untuk Perlindungan Pekerja Migran" yang diterbitkan Migrant Care dan Law,
              Gender and Society Study Centre FH UGM. Progresifitas Semu

              UU PPMI membawa substansi peraturan yang sangat progresifitas, seperti tanpa cela dalam
              melindungi buruh migran. Yang paling mendasar ialah adanya desentralisasi tugas dan tanggung
              jawab terhadap buruh migran, mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, hingga desa.
              Dibanding UU sebelumnya yang dominan peran swasta, UU PPMI memberatkan tanggung jawab
              pelindungan kepada negara.

              Sudah menjadi rapor merah bahwa buruh migran Indonesia yang berada di luar negeri, dominan
              tidak  berdokumen  atau  tidak  mengikuti  prosedur  perekrutan  dan  penempatan.  Hal  ini
              mengakibatkan  buruh  migran  menjadi  rentan  dalam  bekerja,  karena  tidak  terdata,  sehingga
              perwakilan Pemerintah Indonesia yang ada di luar negeri sulit untuk mengawasi dan melindungi.

              Akar  dari permasalahan  ini  ialah tidak  sampainya  informasi  mengenai cara  berangkat  sesuai
              prosedur  ke  luar  negeri,  bahkan  aparatur  negara  seperti  Dinas  Tenaga  Kerja  sangat  jarang
              melakukan sosialisasi ke desa-desa yang merupakan kantong buruh migran. Akibatnya banyak
              buruh  migran  yang  terbujuk  rayu  oleh  calo-calo  perusahaan  untuk  berangkat  ke  luar  negeri
              secara  unprosedural  dengan  iming-iming  gaji  yang  besar.  Praktik  ini  kerap  berujung  pada
              penipuan yang mengakibatkan buruh migran mengalami kerugian materil dan inimatcrial.

              Praktik berpuluh tahun ini, diantisipasi oleh UU PPMI dengan mempertegas tugas dan tanggung
              jawab  pemerintah  desa.  Desa  sebagai  lembaga  pemerintahan  yang  paling  dekat  dengan
              masyarakyat.  bertugas  melakukan  pencatatan  data  calon  buruh  migran,  pemantauan
              pemberangkatan, dan pendataan.

              Hal tersebut cukup efektif dalam mengurangi jumlah buruh migran yang unprosedural. namun
              belum sepenuhnya desa kantong buruh migran menerapkan hal ini. Kendalanya ialah belum
              tersosialisasi  UU  PPMI  ke  desa-desa,  bilapun  sudah  tersosialisasi  kerap  terhalang  dengan
              anggaran desa. Harus menjadi perhatian, bahwa desa juga perlu menge-1 uarkan peraturan
              desa untuk men-spesifikkan tugas dan tanggung jawab perangkat desa. Dalam UU PPMI telah
              ditegaskan bahwa tugas dan tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur

                                                           220
   216   217   218   219   220   221   222   223   224   225   226