Page 260 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 OKTOBER 2020
P. 260
pemerintah, menteri, maupun peraturan daerah yang akan diubah pasca pengesahan undang-
undang sapujagat tersebut Artinya,berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Sehingga,
akan menimbulkan persepsi negatif dari para investor dan menunda keputusan investasi.
"Mereka yang ingin berinvestasi akhirnya menjadi wait and see sampai peraturan teknisnya
selesai diatur pemerintah," ujar alumnus Universitas GadjahMada itu.
Selain itu, Bhima menyebut Omnibus Law tidak memiliki fokus. Di satu sisi pemerintah ingin
adanya lembaga pengelola aset (Soverejgn Wealth Fund/SWF) yang uangnya bisa dikelola oleh
manajemen investasi sbagian besar di surat berhaiga. Sementara itu di klaster ketenagakerjaan,
hak pekerja dipangkas untuk menarik investasi padat karya. Pada bidang start-up, pemerintah
membuka ruang untuk tenaga kerjaasing (TKA) masuk Di klaster pangan, yang akan didorong
adalah importir pangan "Jadi jenis investasi apa yang sebenarnya ingin didorong?" tanya Bhima.
Menurut dia, Omnibus Law Cipta Kerja hanya menjadi alat untuk mengakomodir investor yang
memiliki kepentingan usaha dengan para pejabat pemerintah Itu terlihat dari susunan satgas
dan pembahasan yang terkesan dipercepat. Seperti revisi UU Mineral dan Batubara (Minerba).
"Terlihat ada konflik kepentingan antara pembuat omnibus law dengan bisnis ektraktif sumber
daya alam (SDA). namun sulit juga untuk dibuktikan oleh orang awam," ucapnya.
Hal senada disampaikan ekonom senior Indef Faisal Basri. Dia menuturkan, ada kedaruratan dua
RUU itu terburu-buru untuk disahkan. Yakni menyangkut nasib perusahaan tambang batu bara
yang akan segera habis kontraknya. "Enam kontrak karya akan segera berakhir Ada yang tahun
ini, 2022,2023, dan 2025. Sudah digelar karpet khusus untuk batubara. Maklum, karena banyak
petinggi negeri yang punya konsesi batu bara atau dekat dengan pengusahanya," sebut Faisal.
Faisal juga menyebutkan bahwa tujuan yang kerap terlontar Omnibus Law adalah untuk
kemudahan berusaha. Padahal, lanjut dia, masalah klasik di atas sudah berlangsung puluhan
tahun. "Namun, mengapa baru sekarang diklaim sebagai penyebab kemerosotan investasi dan
pertumbuhan ekonomi? Dengan iklim usaha yang serupa, mengapa pertumbuhan di masa lalu
bisa 8 persen, 7 persen, dan 6 persen," tegasnya.
Sementara itu, di lain pihak Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil La-hadalia
meyakini bahwa Omnibus Law akan menarik lebih banyak proyek investasi asing langsung (FDI)
ke Indonesia. Menurut dia, investasi akan memberikan lebih banyak kesempatan kerja. Dia
menyebut bahwa investasi berkontribusi sebesar 30,61 persen terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB) Indonesia pada kuartal H 2020.
Bahlil menegaskan bahwa konsumsi terjadi ketika masyarakat memiliki daya beli. Daya beli dapat
terdpta jika masyarakat memiliki kepastian pendapatan. Sementara penghasilan dapat dipastikan
jika ada pekerjaan.
"Di sinilah investasi memegang peran kunci dalam menciptakan lapangan kerja," ujar Bahlil
Menurut Bahlil, memberikan kemudahan investasi kini mendesak dilakukan terutama karena
realisasi investasi paruh pertama 2020 hanya sebesar Rp402,6 triliun atau 49,3 persen dari target
penyesuaian tahun 2020 sebesar Rp817,2 triliun. Penurunan realisasi investasi periode ini
disebabkan oleh turunnya Penanaman Modal Asing (PMA) di tengah pandemi Covid-19 sehingga
terjadi pergeseran komposisi di mana akhirnya investasi dalam negeri memberikan kontribusi
lebih dari setengahnya, dengan nilai Rp207,0 triliun (51,4 persen) sedangkan PMA sebesar Rp
195,6 triliun (48,6 persen).
Oleh karena itu, BKPM berharap dengan Omnibus Law Cipta Kerja, investor besar, baik domestik
maupun asing, makin berminat menanamkan modalnya di Indonesia.
259