Page 161 - Tere Liye - Bumi
P. 161
TereLiye “Bumi” 158
”Memangnya kamu paham, Ali?” celetuk Seli.
Kami menatap Seli. Ali menoleh, konsentrasinya terganggu.
”Maksudmu apa, Sel?”
”Maksudku, bukankah nilai bahasa Indonesiamu lebih hancur
dibanding nilai matematika Ra? Tugas mengarangmu jauh lebih buruk
dibanding anak kelas empat SD, bukan? Bagaimana kamu akan tahu
maksudnya?” Seli menjawab datar, sambil nyengir lebar.
Wajah Ali terlihat sebal. Aku hampir tertawa. Ya ampun! Seli telak
sekali menyindir si biang ribut ini. Aku tidak pernah menduga kami akan
akrab dengan Ali, si genius ini. Dulu, jangankan berteman,
memikirkannya saja sudah amitamit. Lihatlah sekarang, Seli nyengir
tanpa dosa mengatakan kalimat itu, seolah Ali sahabat lama yang tidak
akan tersinggung.
Kami bertiga saling tatap. Wajah kami cemong, rambut awut
awutan, seragam berdebu, lengan lecet, badan masih terasa sakit. Aku
akhirnya tertawa pelan. Disusul Seli yang tertawa pelan sambil meringis.
Dan Ali dia batal marah. Kami sejenak tertawa lega. Kejadian barusan,
meski masih gelap penjelasannya, entah akan menuju ke mana
semuanya, telah membuat kami jadi teman baik. Teman yang saling
melindungi dan peduli.
Tibatiba Ali mengangkat tangannya.
Tawa kami terhenti.
”Aku tahu apa yang harus dilakukan. Kamu harus menghilangkan
buku ini, Ra,” Ali berkata serius.
”Apa? Menghilangkannya?”
Itu tidak masuk akal. Gila. Tadi malam aku sudah menghilangkan
novel, bangku, flashdisk, dan bendabenda lain, tidak satu pun yang
kembali. Kami bisa kehilangan satusatunya cara untuk memperoleh
penjelasan kalau buku PR ini juga lenyap tak berbekas.
http://pustaka-indo.blogspot.com